Pengantar
TUNTUTAN rakyat
Papua Barat untuk merdeka lepas dari neo-kolonialisme Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan neo-kapitalisme Negara Dunia Pertama kini sedang menggema
di seantero wilayah Papua Barat. Setelah sebelumnya tuntutan itu dilakukan
secara gerilya dan diplomasi di luar negeri (internasional), maka sejak
bergulirnya Reformasi di Indonesia (1998) tuntutan itu disampaikan secara
terbuka, terutama di Indonesia tanpa meninggalkan tuntutan dengan cara gerilya.
Sementara tuntutan itu bergulir,
Indonesia yang secara real politik menguasai wilayah Papua Barat dan
Negara Dunia Barat yang secara real menguasai ekonomi.
Indonesia menguasai Papua Barat dengan “keras kepala” untuk tidak mendengarkan
tuntutan kemerdekaan tersebut. Tuntutan kemerdekaan Papua Barat dianggap
sebagai sebuah upaya ilegal (melawan hukum atau tidak sah) sehingga rakyat
Papua Barat diberikan beberapa cap konyol seperti separatis, makar, anti
pembangunan, goblok, pemberontak dan lainnya. Semua cap ini menjadi
“surat izin” yang resmi bagi Indonesia dan Negara Dunia Pertama untuk tetap
menanamkan hegemoninya lewat praktek penjajahan seperti pemberian “paket”
Otonomi Khusus, Pemekaran Wilayah (Propinsi/Kabupaten), pembunuhan, pemerkosaan,
penanggapan dan pemenjaraan sewenang-wenang di luar jalur hukum, penyiksaan dan
beberapa jenis kejahatan lainnya.
Walaupun demikian, rakyat Papua
Barat yang berpegang teguh pada keyakinan politiknya tidak menyerah. Sebaliknya
“api perjuangan” dikobarkan terus-menerus untuk tetap melanjutkan aksi
perlawanan dengan tuntutan utama “Papua Barat Merdeka”. Tuntutan itu bisa dilihat
dari beberapa kejadian, di mana-mana dan di berbagai kalangan. Salah satu
contoh adalah pembunuhan tiga orang Brimob yang menjaga keamanan PT. Freeport-Rio
Tinto oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) dibawah pimpinan Gen.
TPN-PB Goliath Tabun beberapa waktu lalu, 43 orang Papua mencari suaka politik
ke Australia, aksi mahasiswa Papua Barat dimana-mana dengan tuntutan peninjauan
kembali status politik Papua Barat, penarikan militer dari Papua Barat, tutup
Freeport dan lainnya. Perjuangan itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri, di
luar negeri pun perjuangan untuk kemerdekaan Papua Barat sedang marak yang
dilakukan oleh para diplomat Papua Barat yang didukung oleh berbagai Support
Groups of West Papua Independence. Juga bukan hanya orang Papua asli yang
memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat, tetapi diperjuangkan juga oleh orang
non-Papua baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa rakyat Papua Barat “keras kepala” untuk minta merdeka? Mengapa
Indonesia dan Negara Dunia Pertama juga “keras kepala” untuk tetap
mempertahankan wilayah Papua Barat sebagai bagian dari NKRI? Tentunya punya alasan
dan akar masalah. Untuk melihat alasan dan akar masalah, maka sejarah Papua
Barat harus dipaparkan dan dipahami secara benar, selanjutnya harus dicari solusi
atau upaya perjuangan yang harus dilakukan oleh rakyat Papua Barat dan
pendukungnya, tentu saja di dalamnya ada mahasiswa sebagai bagian dari rakyat
Papua Barat. Hal itu akan menjawab dua buah pertanyaan. Pertama: mengapa rakyat
Papua Barat menuntut merdeka? Kedua: apakah mahasiswa Papua Barat harus
berjuang untuk menuntut merdeka?
Untuk menemukan “akar masalah” Papua Barat
yang sesungguhnya, maka dibawah ini dipaparkan sekilas sejarah kemerdekaan
Papua Barat dan dinamika politik penjajahan di Papua Barat. Kemudian akan
dilanjutkan dengan sikap mahasiswa yang seharusnya dalam perjuangan kemerdekaan
Papua Barat.
B. Hubungan Sejarah Indonesia dan Papua Barat
Tidak dapat
dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia sebagai bagian dari
wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah. Sementara aksi pencaplokan
itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang harus dipelajari dan dipahami untuk
dapat memetakan persoalan secara obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan
aksi pencarian solusi yang terbaik bagi penyelesaian status politik wilayah
Papua Barat dalam kekuasaan Indonesia.
Dalam rangka untuk menggali
hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua Barat, maka beberapa hal perlu
dikemukakan. Pertama, sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat. Kedua, sejarah
perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah. Ketiga, alasan
pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia. Keempat, sejarah kemerdekaan Papua
Barat. Kelima, proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Keenam, sejarah
dalam kekuasaan Orde Baru dan terakhir masa kebangkitan Papua Barat Kedua (Era
Reformasi Indonesia).
1.
Sejarah
Hidup Indonesia dan Papua Barat
Dalam sejarah
hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka mampu untuk mengatur
hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua
Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal
leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara
demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara
turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di
beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan
tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar
Yotefa di Numbay.
Selain kemampuan
untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing), juga
sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan Indonesia mempunyai
perbedaan yang sangat jauh. Bangsa Papua adalah ras Negroid sedangkan bangsa
Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid.
Dengan perbedaan
ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah perbedaan fisik maupun
mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apapun
dalam sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya
sendiri dengan karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga tindakan
pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah. Hal itu
pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal, bahwa:
Dalam kehidupan
sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api kebun Indonesia apabila
mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah bercerita kepada kami bahwa kami
punya dendam perang dengan keturunan Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa
Indonesia. Kami bangsa Papua tahu dan sadar akan diri kami bahwa kami berbeda
dengan bangsa Indonesia. …Bangsa Papua termasuk ras Negroid mendiami kepulauan
Melanesia di Pasifik selatan, karena
bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid
dan Austronosoid yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.”
Dari gambaran di
atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak
mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa
dalam satu negara yang bernama Indonesia. Alasan bahwa Indonesia dan Papua
Barat mempunyai sejarah hidup yang sama sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah
sema sekali tidak obyektif, sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim
Papua Barat sebagai bagian dari wilayah
Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di Indonesia untuk membangun
nasionalisme Indonesia bagi orang Papua (meng-Indonesia-kan orang Papua)
2.
Hubungan
Sejarah Perjuangan Indonesia dan Papua Barat
Indonesia (Sabang
sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat
(Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua
Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi
pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda
yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta),
kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas
Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina.
Kekuasaan Belanda
di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas
kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908
Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang
ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak
perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di
Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische
Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908),
Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam
berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali
tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda
adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua
Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai
musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya
masing-masing.
Rakyat Papua
Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28
Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia
seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya
hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan
satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir
dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah
mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia”
itu.
Dalam perjuangan
mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua
Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan
Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang tidak ada
sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh
Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang
Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta
menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia,
maka biarlah bangsa Papua menentukan
nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua
masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan
BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia
diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah
Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai
Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat).[i]
Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang
batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.
Tanggal 19
Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam
delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan
berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku.
Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi
Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian
pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai
daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat
dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian itu, ternyata pilihan jatuh pada
wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 tentang
pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Irian
Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada
17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian Barat Perjuangan.[ii]
Setelah peresmian
Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat tetap menjadi daerah sengketa
antara Indonesia dan Belanda. Beberapa persitiwa politik dalam memperebutkan
Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah:
a.
Sebelum penandatangan Perjanjian Lingggarjati
pemerintah Belanda pernah menyatakan agar Papua Barat dapat menerima status
sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat menurut jiwa
pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda mengadakan pengecualian
bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah tersebut tidak ditentukan oleh
Perjanjian Linggarjati.[iii]
b.
Dalam Konferensi Meja Bundar yang
dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945 disepakati
bahwa mengenai status quo wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya
ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan
kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat
akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat
dan Kerajaan Belanda.[iv]
Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland Niew
Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi
Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena
bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”[v]
c.
Dalam konferensi para menteri antara
Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Maret-1
April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan surat Keputusan Para Menteri Uni
Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut,
masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15 April 1950
dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara ilmiah untuk
menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia atau Nederland.
Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing pihak tidak ada pihak yang
mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih dipertahankan oleh Belanda.
Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan masalah Papua Barat akan
diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission for Indonesia tanpa
batas waktu yang ditentukan. [vi]
d.
Karena dirasa wilayah Papua Barat
dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah Papua
Barat ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi
Asia Afrika.
Setelah
semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka selanjutnya
wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan
Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar
dalam merebut Papua Barat.
3.
Sejarah
Kemerdekaan Papua Barat
Ketika Papua
Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara
Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara
merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.[vii]
Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik
lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool)[viii]
di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949
mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya atas
desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah
Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa
tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu
(Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey
(Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim
(Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja
Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke
(mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari).[ix]
Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang
cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional
yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam
mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70
orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang
isinya:[x]
MANIVETO POLITIK
PAPUA BARAT
1.
Menetukan
nama Negara : Papua Barat
2.
Menentukan
lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua
3.
Menentukan
bendera Negara : Bintang Kejora
4.
Menentukan
bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.
Lambang Negara
Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Rencana
pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi
dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi
sOetelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora
dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan
Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan
lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda
“Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda
dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat
secara de facto[xi]
dan de jure[xii]
sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
4.
Alasan
Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia
Walaupun Papua
Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat,
tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961
Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta
yang isinya:
1.
Gagalkan Pembentukan
“Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial
2.
Kibarkan Sang Merah
Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3.
Bersiaplah untuk
mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan
Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini,
maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan
Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan
kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi
militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya
dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan
militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti
Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil,
Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat
laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi
Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan
Operasi Khusus (Opsus).[xiii]
Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang
Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Mengapa Soekarno
sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat untuk memasukannya ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Soekarno mempunyai empat
alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke wilayah Indonesia. Keempat alasan
itu adalah klaim yang dipegang oleh Indonesia sebagai tindakan pembenaran
kekuasaan atas wilayah Papua Barat. Keempat klaim itu adalah:[xiv]
- Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
- Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”.
- Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda.
- Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda. Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.
Apakah keempat
klaim – sebagai alasan mengusai Papua Barat – ini benar? Mari kita buktikan.
- Klaim atas Kekuasaan Majapahit
Kerajaan
Majapahit (1293-1520) lahir di Jawa Timur dan memperoleh kejayaannya di bawah
raja Hayam Wuruk Rajasanagara (1350-1389). Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri
Belanda memuat ringkasan sejarah Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit
pada jaman Gajah Mada mencakup sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan
Indonesia mengklaim bahwa batas wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar
hingga ke pulau Pas (Chili).
Hingga saat ini
belum ditemukan bukti-bukti sejarah berupa ceritera tertulis maupun lisan atau
benda-benda sejarah lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah
untuk membuat suatu analisa dengan definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah
merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian
dari kerajaan Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak
memenuhi prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat,
khususnya sejarah tertulis.
Berkaitan dengan
kekuasaan wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia, secara jelas dijelaskan
panjang lebar oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, bahwa kekuasaan kerajaan
Majapahit, dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 disebutkan bahwa
kerajaan Majapahit mempunyai wilayah yang luas sekali, baik di kepulauan
Nusantara maupun di semenanjung Melayu. Pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa
yang paling jauh tersebut dalam pupuh 14/15 ialah deretan pulau Ambon
dan Maluku, Seram dan Timor; semenajung Melayu disebut nama-nama Langkasuka,
Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai.
Demikianlah, wilayah kerajaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama
meluputi wilayah yang lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia sekarang.
Hanya Irian yang tidak tersebut sebagai batas yang terjauh di sebelah timur.
Boleh dikatakan bahwa batas sebelah timur kerajaan Majapahit ialah kepulauan
Maluku.[xv]
Ini berarti Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena
itu sudah jelas bahwa Soekarno telah memanipulasikan sejarah.
- Klaim atas Kekuasaan Tidore
Di dalam suatu
pernyataan yang di lakukan antara sultan Tidore dengan VOC pada tahun 1660,
secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa kepulauan Papua atau pulau-pulau
yang termasuk di dalamnya merupakan daerah kesultanan Tidore.
Soekarno
mengklaim bahwa kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian Timur”, maka
Papua Barat merupakan bagian daripadanya. Di samping itu, Soekarno mengklaim
bahwa raja-raja di kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat,
pernah mengadakan hubungan dengan sultan Tidore.
Apakah kedua
klaim dari sultan Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan secara ilmiah? Gubernur
kepulauan Banda, Keyts melaporkan pada tahun 1678 bahwa dia tidak menemukan
bukti adanya kekuasaan Tidore di Papua Barat. Pada tahun 1679 Keyts menulis
lagi bahwa sultan Tidore tidak perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat.
Menurut laporan
dari kapten Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur Ternate (1778) terbukti
bahwa kekuasaan sultan Tidore di Papua Barat betul-betul tidak kelihatan.
Pada tanggal 27
Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate dan Tidore yang
disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan
distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua
Barat (daerah sekitar Kepala Burung) akan dipertimbangkan kemudian sebagai
milik sah sultan Tidore.
Kontrak ini
dibuat di luar ketahuan dan keinginan rakyat
Papua Barat. Berbagai penulis
melaporkan, bahwa yang diklaim oleh sultan Tidore dengan nama Papua adalah
pulau Misol. Bukan daratan Papua seluruhnya.
Ketika sultan
Tidore mengadakan perjalanan keliling ke Papua Barat pada bulan Maret 1949,
rakyat Papua Barat tidak menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari
kesultanan Tidore. Adanya raja-raja di Papua Barat bagian barat, sama sekali
tidak dapat dibuktikan dengan teori yang benar.
Lahirnya sebutan ‘Raja
Ampat’ berasal dari mitos. Raja Ampat berasal dari telur burung Maleo (ayam
hutan). Dari telur-telur itu lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi
raja.
Mitos ini
memberikan bukti, bahwa tidak pernah terdapat raja-raja di kepulauan Raja Ampat
menurut kenyataan yang sebenarnya. Rakyat Papua Barat pernah mengenal seorang
pemimpin armada laut asal Biak: Kurabesi, yang menurut F.C. Kamma, pernah
mengadakan penjelajahan sampai ke ujung barat Papua Barat. Kurabesi kemudian
kawin dengan putri sultan Tidore. Adanya armada Kurabesi dapat memberikan
kesangsian terhadap kehadiran kekuasaan asing di Papua Barat.
Pada tahun 1848
dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah Hindia Belanda (Indonesia
jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana pesisir barat-laut dan barat-daya
Papua Barat merupakan daerah teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan
dengan harapan untuk mencegah digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat
penetrasi Inggris ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya
hanya merupakan vassal proportion (hubungan antara seorang yang
menduduki tanah dengan janji memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah)
terhadap kedaulatan kekuasaan
Belanda, tulis
C.S.I.J. Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh Pemerintah Hindia
Belanda tahun 1861 untuk mengurus perjalanan hongi (hongi-tochten, di dalam
bahasa Belanda). Ketika itu banyak pelaut asal Biak yang berhongi (berlayar)
sampai ke Tidore. Menurut C.S.I.J. Lagerberg hongi asal Biak merupakan
pembajakan laut, tapi menurut bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu
merupakan usaha menghalau penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah
asing itu dilakukan hingga ke Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak,
sultan Tidore diberi mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Jadi, justru yang
terjadi ketika itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan atas teritorial Papua
Barat. Setelah pada tahun 1880-an Jerman dan Inggris secara nyata menjajah
Papua New Guinea, maka Belanda juga secara nyata memulai penjajahannya di Papua
Barat pada tahun 1898 dengan membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan
otonomi (zelfbestuursgebied) Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota
Manokwari dan bagian selatan dengan ibukota Fakfak. Jadi, ketika itu daerah
pemerintahan Manokwari dan Fakfak berada di bawah keresidenan Tidore.
Mengenai
manipulasi sejarah berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat ini,
Dr. George Junus Aditjondro menyatakan bahwa:
Kita
mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat adalah bagian dari Hindia
Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena kesultanan Tidore mengklaim bahwa dia
menjajah Papua Barat sampai teluk Yotefa mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore
ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum merasa otomatis mendapatkan hak atas
penjajahan Tidore? Belanda mundur, Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan
Tidore? Itu kan suatu mitos. Sejak kapan berbagai daerah di Papua barat
takluk kepada Tidore?... Saya kira tidak. Yang ada adalah hubungan vertikal
antara Tidore dan Papua Barat, tidak ada kekuasaan Tidore untuk menaklukan
Papua Barat. Atas dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas seluruh Hindia
Belanda dulu, merupakan imajinasi.”[xvi]
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah
untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam
kekuasaan Tidore.
- Klaim atas kekuasaan Hindia Belanda
Secara historis
penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah Republik
Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 24
agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat)
diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland.
Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda
disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang
sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).[xvii]
Juga perlu
diingat bahwa walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan
Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah.[xviii]
Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari
Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan
penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina
(Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia
(sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat
sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).[xix]
Selain itu saat
tertanam dan tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua
Barat tidak
bertepatan waktu dengan yang terjadi di Indonesia. Kurun waktunya berbeda, di mana Indonesia
dijajah selama tiga setengah abad sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun
(1898-1962). Tanggal 24 Agustus 1828, ratu Belanda mengeluarkan pernyataan
unilateral bahwa Papua Barat merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik
praktis, Belanda memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos
pemerintahan pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di
Fakfak (untuk daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya
dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial
Fakfak. Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah
untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam
kekuasaan Hindia Belanda.
- Menghalau Pengaruh Imperialisme Barat di Asia Tenggara.
Soekarno
mengancam akan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk
menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan
Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada
waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis.
Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti
imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin
mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia.
Maka Amerika
Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan
Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS
berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke
Washington (Amerika Serikat) pada tahun 1961. Tahun 1962 utusan pribadi
Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan
balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang
dukungan kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk mengelabui
mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan
melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua
Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum
PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of
Free Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian
diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan
Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
5.
Proses
Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969
Penandatanganan New
York Agreement (Perjanjian New York)[xx]
antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB,
Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok dalam
perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:[xxi]
1.
New York Agreement
(Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara
yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan
nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan
wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
2.
Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites
Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara
PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah
Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh
tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara
brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
3.
Pasal XVIII ayat (d) New York
Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and
female, not foreign nationals to participate in the act of self determination
to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini
berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua
pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New
York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara
lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang
dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk
memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah
disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada
di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak
diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu.
4.
Teror, intimidasi dan pembunuhan
dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA
1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia. Buktinya adalah
Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang
ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten Merauke, isi
surat tersebut:
“Apabila pada
masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan
musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila
alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain
pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan
kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk
menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum
dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah
bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara
‘tidak’ wajar.”[xxii]
Mengingat bahwa
wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar
kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang
lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.
Pada tahun 1967
Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak
Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas
di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun
1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.
Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya
penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik
Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969
dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua
Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Penentuan
Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem
“musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New
York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat
terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan
esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya
disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
Berikut ini
adalah jadwal pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan berdasarkan unsur, dan
jumlah wakil/utusan yang memberikan pendapat.
Jadwal Pelaksanaan Pepera
Tanggal
|
Kabupaten
|
Anggota DEMUS[xxiii]
|
Penduduk
|
14 Juli 1969
|
Merauke
|
175
|
144.171
|
16 Juli 1969
|
Jayawijaya
|
175
|
165.000
|
19 Juli 1969
|
Paniai
|
175
|
156.000
|
23 Juli 1969
|
Fakfak
|
75
|
43.187
|
26 Juli 1969
|
Sorong
|
110
|
75.474
|
29 Juli 1969
|
Manokwari
|
75
|
89.875
|
31 Juli 1969
|
Teluk Cenderawasih
|
130
|
83.000
|
02 Agustus 1969
|
Jayapura
|
110
|
81.246
|
J u m l a h
|
1.025
|
809.337
|
Jumlah Wakil/Utusan Berdasarkan Unsur
No
|
Unsur
|
Jumlah Wakil/Utusan
|
1
|
Kepala Suku/Adat
|
400 orang
|
2
|
Daerah (Gereja/Alim Ulama)
|
360 orang
|
3
|
Orpol/Ormas
|
265 orang
|
J u m l a h
|
1.025 orang
|
Jumlah
Wakil/Utusan yang Memberikan Pendapat
No
|
Kabupaten
|
Memberikan Pendapat
|
Jumlah Utusan
|
Sakit
|
1
|
Merauke
|
20
|
175
|
1
|
2
|
Jayawijaya
|
18
|
175
|
1
|
3
|
Paniai
|
28
|
175
|
-
|
4
|
Fakfak
|
17
|
75
|
-
|
5
|
Sorong
|
16
|
110
|
-
|
6
|
Manokwari
|
26
|
75
|
-
|
7
|
Teluk Cenderawasih
|
24
|
130
|
1
|
8
|
Jayapura
|
26
|
110
|
1
|
J u m l a h
|
175
|
1.025
|
4
|
6.
Papua
Barat dalam Kekuasaan Indonesia (Era Negara Orde Baru-NOB)
Banyak peristiwa
politik dalam memperjuangan kemerdekaan Papua Barat yang dilakukan oleh rakyat
Papua Barat terutama oleh OPM pasca Penentuan Pendapat Rakyat 1969, tetapi
secara umum di sini hanya akan dikemukakan empat peristiwa penting dalam upaya
untuk memerdekakan Papua Barat dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
a.
Proklamasi
1 Juli 1971
Setelah wilayah
Papua Barat dimasukan secara sepihak lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat oleh Indonesia pada tahun
1969, wilayah ini diduduki layaknya sebuah wilayah jajahan. Indonesia mulai
memperketat wilayah ini untuk mematikan gerakan kemerdekaan Papua Barat yang
dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM)[xxiv]
lewat perjuangan diplomasi dan gerilya.
Pada tanggal 1
Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan
Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam
kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik" “dilaksanakan Proklamasi
Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem[xxv]
sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai[xxvi]
sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri
Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara
Pembebasan Nasional (TEPENAL[xxvii]),
dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima)
TEPENAL Republik Papua Barat.
Isi teks
Proklamasi 1 Juli 1971 adalah:
PROKLAMASI
Kepada seluruh
rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim
(Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan
pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk
mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan
rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto
dan de jure).
Semoga Tuhan
beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bahwa merupakan kehendak yang
sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri
dengan ini telah dipenuhi.
Victoria,
1 Juli 1971
Atas
nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
Seth
Jafet Rumkorem
(Brigadir-Jenderal)
(Brigadir-Jenderal)
b.
Imajinasi
Negara Melanesia Barat
Tiga tahun sesudah
proklamasi di “Markas Victoria”, imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah
negara tetangga mereka, Papua New Guinea. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam
orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen,
menandatangani apa yang mereka sebut “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen”, yang
isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan
Papua New Guinea) sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di luar Republik
Indonesia”.
Sejak Februari
1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah
seorang di antara penandatangan “proklamasi Sorong-Samarai” itu, Y. Ch. Merino,
orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada
tanggal 14 Februari 1975 kedapatan “bunuh diri” di Serui. Kabarnya dalam
penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta.
Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup,
diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya
divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan “maker”.[xxviii]
c.
Gelombang
Pengungsian dan Pembunuhan Arnold Clemens Ap
Pada tanggal 26
April 1984, pemerintah Indonesia melakukan “sesuatu” yang justru semakin
menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang
martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok
OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka
asal Papua Barat, Arnold Clemens Ap, ditembak oleh Koppasanda (sekarang
Kopassus) di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Arnold
Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo,
Papua New Guinea, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah
mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.[xxix]
Pembunuhan ini
berawal dari sebuah “tawaran” kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari
tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo,
tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu
jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko,
Jayapura, tanggal 26 April 1984. Sebelum “ditawar” untuk melarikan diri, pada
tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis
di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Papua lain, yang umumnya
bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan
untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan
dan di luar negeri.
Arnol dibunuh
karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan
yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje
Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai
pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik
Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset
Mambesak. Selain itu, Indonesia merasa sangat khawatir dengan Group Musik
Manbesak yang dicurigai membangkitkan semangat nasionalisme Papua Barat untuk
merdeka lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[xxx]
Akibat kemelut
politik, terutama karena pembunuhan Arnol C. Ap maka terjadi gelombang
pengungsian secara besar-besaran ke Papua New Guinea. Sebanyak 11.000 orang
Papua dari Papua Barat ditampung di kamp-kamp pengungsi Wabo dan Yako yang
lebih dikenal dengan nama Black Water dan Black Wara, dimana para pengungsi
tersebut diurus oleh perwakilan UNHCR (United Nations High Commision for
Refugees) di Vanimo.[xxxi]
\
d.
Proklamasi
Melanesia Barat
Pada tanggal 14
Desember 1988, Dr. Thomas Wapai Wanggai memproklamasikan Negara Melanesia
Barat. Ia mengusung nama Negara Melanesia Barat untuk melepaskan Papua Barat
dari kekuasaan Indonesia. Dia Mendeklarasikan Kemerdekaan Melanesia Barat
dengan menaikan Bendera Bintang Empat Belas (B-14) di Lapangan Mandala Port
Numbay tahun 1988. Akibatnya dia dipenjarakan di LP Cipinang Jakarta, tetapi
dia meninggal dunia tahun 1996 karena sakit ketika menjalani hukumannya.[xxxii]
Kematiannya dicurigai karena diracuni. Akhirnya banyak pengikutnya yang hingga
kini melarikan diri ke luar negeri.
Ide Thomas Wapai
Wanggai mengenai Negara Melanesia Barat ini tidak jelas mengenai batas wilayah “Melanesia Barat” itu.
Apakah Melanesia Barat juga meliputi Maluku, Timor Timur, dan Nusa Tenggara
Timur, yang penduduknya serumpun Melanesia? Ataukah penggunaan istilah itu
hanyalah suatu taktik politik, suatu appeal ke arah isu Solidaritas
Melanesia yang populer di beberapa negara Pasifik Selatan. Yang jelas,
proklamasi Tom Wanggai punya appeal yang besar terhadap sebagian
penduduk kota Jayapura dan kota-kota satelit-satelitnya.
Selain empat
peristiwa politik yang telah disebutkan di atas, masih ada juga aksi-aksi
perjuangan rutin baik secara diplomatik maupun gerilya yang dilakukan oleh
rakyat Papua Barat. Secara diplomatik misalnya terjadi lobi dan pembukaan
kantor-kantor perwakilan OPM di berbagai negara, seperti di Swedia (1972),
Senegal (1976), dan kampanye yang dilakukan di Belanda, Yunani, Jepang, PNG dan
negara lainnya. Sementara secara gerilya misalnya terjadi
penyerangan-penyerangan terhadap Pos Militer (TNI/POLRI) oleh TPN-OPM, terjadi
penyanderaan, dan lainnya sepanjang kekuasaan Negara Indonesia era Orde Baru di
Papua Barat.
Sebagai
balasannya Indonesia melalui kekuatan militer lewat penerapan kebijakan Daerah
Operasi Militer (DOM) melakukan teror, intimidari, pengejaran, pemenjarahan,
pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum dan kampung, dan aksi
kejahatan militer yang lainnya. Selain itu dilakukan Operasi Koteka pada tahun
1970-an, yang mana rakyat dipaksa untuk mengenakan pakaian ala orang
Indonesia yang terbuat dari kain.
Akibat Operasi
Militer banyak rakyat Papua Barat yang telah menjadi korban. Hal dapat dilihat
dari laporan Amnesty International[xxxiv]
yang mengemukakan bahwa telah terjadi 100 ribu rakyat Papua Barat dibantai oleh
militer Indonesia. Selain itu Universitas Yale mengeluarkan laporan resmi bahwa
telah terjadi Genosida di Papua Barat yang dilakukan oleh pemerintah dan
militer Indonesia yang berjudul “Indonesia Human Rights Abuse in West Papua:
Application of the Law of Genocide to the History of Indonesia Control.”
Selain Universitas Yale, John Wing dan Peter King dari Center for Peace and
Conflict Studies di Universitas Sydney Australia juga telah menerbitkan
sebuah laporan sebagai hasil riset tentang Genosida di Papua Barat yang
berjudul “Genocide in West Papua? The Role of Indonesian State Apparatus and
a Current Needs Assessment of the Papua People”.[xxxv]
Data Korban pelanggaran HAM[xxxvi]
No
|
Waktu/Tempat
|
Jenis Pelangaran HAM
|
Jumlah
|
1
|
1968-1998:
Kabupaten Paniai
|
Meninggal
Hilang
Diperkosa
|
614 orang
13 orang
94 orang
|
2
|
1969-1972 dan 1998:
Kabupaten Biak
|
Meninggal
Hilang
Dianiaya
Ditahan
|
102 orang
3 orang
37 orang
150 orang
|
3
|
1977: Jayawijaya (Perang 77):
1. Kec. Kelila
2. Kec. Asologaima
3. Kec. Wosi
|
Meninggal (tewas)
Meninggal (tewas)
Meninggal (tewas)
|
201 orang
126 orang
148 orang
|
4
|
1996-1998: Jayawijaya
|
Meninggal
Hilang
Diperkosa
Dianiaya
Dibakar (materi):
- Gereja
- Kampung
- Rumah
|
137 orang
2 orang
10 orang
3 orang
13 buah
13 buah
195 buah
|
5
|
1965-1999:
Kabupaten Sorong
|
Meninggal
Hilang
Diperkosa
|
68 orang
5 orang
7 orang
|
7.
Kebangkitan
Nasional Papua Barat (Era Reformasi Indonesia)
Bersamaan dengan
tumbangnya “raja”[xxxvii]
Soeharto dari kursi kekuasaanya, lahirnya masa Reformasi di Indonesia. hal itu
terjadi sejak tahun 1998, dan sekarang ini juga kita berada dalam masa
Reformasi Indonesia. Lahirnya Reformasi memberikan “angin segar” bagi rakyat
Papua Barat untuk memperjuangan kemerdekaan negaranya secara terbuka. Berikut
ini beberapa peristiwa politik (perjuangan) yang dilakukan oleh rakyat Papua
Barat dalam upaya untuk mendirikan Negara Papua Barat yang merdeka dan
berdaulat, yaitu:[
1.
Demonstrasi
Pelanggaran HAM di Papua Barat
Ada tiga
peristiwa penting demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat selama bulan Mei
dan Juni 1998, yaitu tanggal 25 Mei 1998, 5 Juni 1998, dan 11 Juni 1998. Ketiga
demonstrasi tersebut menuntut pertanggungjawaban TNI/POLRI dan Pemerintah
Indonesia atas segala pelanggaran HAM di Papua Barat.
2.
Surat
Kongres Amerika Serikat dan RFK Memorian
Pada tanggal 22
Mei 1998 (sehari sesudah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia)
Indonesia menerima surat dari Kongres Amerika Serikat, dan tanggal 27 Mei 1998
(seminggu setelah B.J. Habibie diangkat menjadi Presiden Indonesia) Indonesia
menerima surat dari Roberth F. Kennedy. Salah satu poin yang menjadi perhatian
dan dorongan bagi rakyat Papua adalah butir keempat dari surat tersebut yang
isinya berbunyi sebagai berikut: “Memprakarsai dialog yang langsung dan
beritikat baik dengan masyarakat Timor Timur dan Irian Jaya menyangkut
perlindungan HAM serta memprakarsai jalan keluar yang adil mengenai status
politik kedua daerah”.
3.
Aksi
Pengibaran Bendera Papua
Semangat
kebangkitan rakyat Papua Barat menuju Papua Baru yang merdeka dan berdaulat
semakin nyata dari sejumlah aksi-aksi politik yang berkisar pada pengibaran
Bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua Barat dan luar Papua Barat.
Beberapa aksi pengibaran Bendera Bintang Kejora dan aksi demonstrasi adalah:
a.
Pengibaran Bendera Papua di Jayapura,
tanggal 1 Juli 1998
b.
Pengibaran Bendera Papua di Biak, tanggal
2-6 Juli 1998
c.
Pengibaran Bendera Papua di di Sorong,
tanggal 2 -3 Juli 1998
d.
Pengibaran Bendera Papua di Wamena,
tanggal 7 Juli 1998
e.
Pengibaran Bendera Papua di Manokwari,
tanggal 2 Oktober 1998
f.
Aski pengibaran Bendera Papua juga
terjadi di beberapa kota di Papua seperti Serui, Fak Fak, Timika, Nabire,
Puncak Jaya dan Merauke.
g.
Demonstrasi mahasiswa Papua dibawah
komando Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Jakarta yang diikuti oleh aksi
demosntrasi mahasiswa di Bali dan Sulawesi.
4.
Pendirian
FORERI
Dengan melihat
perkembangan aspirasi dan perjuangan “Papua Barat Merdeka”, maka tokoh agama,
tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda dan wakil mahasiswa membentuk Forum
Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya (FORERI) pada tanggal 24 Juli 1998 di Kantor
Elsham Kotaraja Jayapura.
Forum ini
dibentuk untuk menjembatani semua aspirasi yang berkembang di masyarakat untuk
disampaikan ke Pemerintah Pusat atau kemungkinan solusi lain dalam penyelesaian
masalah Papua Barat, terutama dalam masalah kemerdekaan Papua Barat, tawaran
otonomi oleh pemerintah Indonesia, masalah pelanggaran HAM, dialog nasional,
pembebasan tahanan politik dan beberapa masalah aktual lainnya. Drs. Willy
Mandowen diangkat sebagai Sekretaris Eksekutif yang dibantu oleh Drs. Martinus
Patay dan beberapa sukarelawan dari mahasiswa dalam menjalankan tugasnya.
5.
Tim
Pencari Fakta DPR RI
Mengkristalnya
tuntutan kemerdekaan Papua Barat memaksa DPR RI membentuk Tim Pencari Fakta.
Pada tanggal 27 Juli 1998 Tim Pencari Fakta bertemu dengan para pendiri FORERI
di hotel Matoa Jayapura. FORERI menyerahkan laporan pelanggaran HAM di Papua, kemudian
Theys Hiyo Eluay mengusulkan untuk diadakan Dialog Nasional dan Dialog
Internasional mengenai masalah Papua Barat, sementara Dr. Benny Giyai
memaparkan penderitaan rakyat Papua selama 32 tahun dan akar masalah tuntutan
kemerdekaan Papua Barat.
6.
Deklarasi
1 Agustus 1999
Dalam usaha untuk
mengakomodir semua gerakan kebangkitan Papua Barat yang semakin marak di Papua
Barat, maka Theys Hiyo Eluway dan Yorrys Th. Raweyai menggelar pertemuan di
Gedung BPD Jayapura. Pertemuan ini diawali dengan dengan doa kemudian
dilanjutkan dengan penyampaian aspirasi oleh semua komponen yang hadir dalam
pertemuan tersebut. Beberapa kesepakatan penting yang diambil dalam pertemuan
ini adalah:
a.
Menyamakan persepsi politik, yakni rakyat
ingin “Papua Merdeka”.
b.
Diusulkan nama Irian Jaya diganti dengan
nama Papua.
c.
Perlu dilakukan Dialog Nasional antara
rakyat Papua Barat dengan Presiden B.J. Habibie.
d.
Theys Hiyo Eluay mengundurkan diri dari
segala aktivitas politik dalam NKRI dan menanggalkan segala atribut “Merah
Putih” yang disandangnya sejak 1969 dan menyatakan diri sebagai “Pemimpin
Gerakan Papua Merdeka” ke depan.
7.
Tim
Seratus (T-100[xxxix])
Dalam pertemuan
Tim Seratus (T-100) dengan Presiden B.J. Habibie yang dilaksanakan di Istana
Negara Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999, seratus orang perwakilan rakyat
Papua Barat dengan tegas menyampaikan keinginannya untuk merdeka sebagai negara
berdaulat dari kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu dapat
dilihat dari isi pernyataan politik bangsa Papua bahwa:
a.
Kami keluar dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk membentuk negara yang merdeka dan berdaulat penuh dan berdiri
sejajajar dengan bangsa-bangsa lain. Kemerdekaan ini menjamin nilai-nilai
kemanusiaan yang selama ini diinjak-injak oleh bangsa Indonesia disamping
pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Di dalam kemerdekaan itulah dapat
dibangun tanah dan bangsa Papua.
b.
Segera dibentuk pemerintahan peralihan
dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selambat-lambatnya bulan
Maret 1999.
c.
Sebagai tindak lanjut politis adalah
segera diadakan perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia, bangsa Papua
Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
d.
Kami bangsa Papua Barat tidak ikut dalam
Pemilihan Umum 1999.
8.
Musyawarah
Besar Papua 2000
Pada tanggal
23-26 Februari 2000 dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) di Sentani, Jayapura.
Mubes ini dilakukan sebagai sebuah langkah strategis untuk mempersiapkan
Kongres Papua 2000. Mubes ini dilaksanakan untuk menguji kematangan demokrasi
rakyat Papua.
Selain untuk
menguji kematangan demokrasi rakyat Papua, Mubes juga mempersiapkan dan
merumuskan agenda-agenda penting sebagai pilar-pilar (tema-teman) perjuangan
Papua Barat. Agenda-agenda itu antara lain tentang Agenda Pelurusan sejarah,
Agenda Politik, dan Konsolidasi Komponen Perjuangan Papua. Yang paling penting
dari Mubes ini adalah membuat kendaraan politik, yaitu dengan membentuk Dewan
Papua yang terdiri dari Panel dan Presidium Dewan Papua.
9.
Kongres
Rakyat Papua II (2000)
Kongres Papua II
(2000) dilaksanakan pada tanggal 29 Mei-4 Juni 2000 di Gedung Olahraga
Cenderawasih (GOR) Jayapura, dengan tema kongres: Mari Kita Meluruskan
Sejarah Papua Barat, sedangkan subtema kongres: Rakyat Bangsa Papua
Bertekat Menegakan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Prinsip-Prinsip
Kebenaran dan Keadilan Menuju Papua Baru.
Kongres ini
dihadiri oleh 3000 peserta resmi yang diundang, selain itu dihadiri oleh ribuan
rakyat Papua Barat yang tidak diundang. 3000 peserta resmi itu terdiri dari
beberapa kategori, yaitu:
a.
Presidium Dewan Papua 31 orang.
b.
Panel Dewan Papua 400 orang.
c.
Utusan Langsung Masyarakat Papua 1800
orang
d.
Utusan Pemerintah dan DPR/DPRD 150 orang
e.
Pengamat 50 orang
f.
Peninjau Khusus 30 orang
g.
Pers-Jurnalis 100 orang
h.
Undangan Khusus 100 orang.
Kongres ini telah
berhasil melahirkan sebuah Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dalam empat
bidang, yaitu Bidang Ekonomi, Bidang Sosial (Pendidikan, Kesehatan, dan
Kependudukan), Bidang Budaya, dan Bidang Hak-hak Sipil dan Politik. Kemudian pula
melahirkan sebuah Resolusi Kongres Papua 2000[xl]
yang menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di duniai: “mengakui
kemerdekaan Papua 1 Desember 1961, menolak New York Agreement 1962, menolak
hasil PEPERA 1969, mendesak pengakuan kemerdekaan Papua Barat, dan mendesak
penuntasan pelanggaran HAM, mengutuk Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memanipulasi dan melantarkan nasib bangsa
Papua.”
Selanjutnya dalam
Resolusi Kongres 2000 rakyat Papua memberikan mandat sepenuhnya kepada
Presidium Dewan Papua untuk melaksanakan beberapa hal, seperti: “memperjuangkan
pengakuan kemerdekaan Papua Barat, memperjuangkan pelaksanaan Referendum,
mengadakan usaha dana perjuangan, Panel Kongres harus memberikan dukungan
perjuangan kepada Presidium Dewan Papua, dan mempertanggungjawabkan hasil
perjuangan pada 1 Desember 2000.
Inti dari
Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dan Resolusi Kongres 2000 adalah: Papua
Barat harus keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mendirikan
Negara merdeka dan berdaulat sendiri.”
10.
Setelah
Kongres Papua 2000
Perjuangan Papua
Barat untuk merdeka mulai menampakkan hasil, namun sejak kematian Theys Hiyo
Eluway perjuangan mengalami kemunduran. Hal itu bertahan hingga sekarang. Namun
perlu diketahui bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Papua kini sedang mengalami
kemajuan yang cukup berarti, terutama atas aksi kaum muda, TPN dan OPM serta
beberapa organisasi perjuangan yang walau susah bersatu namun cukup mendatangkan hasil bagi kemerdekaan Papua
Barat dikemudian hari.
C. Jenis dan Sikap
Mahasiswa Papua
Setelah mengetahui
memahami perjalanan panjang aksi penjajahan nation-state lain atas
wilayah Papua Barat dan perjuangan kemerdekaan Papua Barat dalam menghadapi
penjajahan itu, maka mahasiswa dihadapkan kepada tiga pilihan keberpihakan
secara umum. Pertama, memihak kepada penjajah. Kedua, memihak rakyat Papua
Barat. Ketiga, tidak memihak apa-apa dan siapa-siapa (netral/tidak tahu
apa-apa).
Untuk mengambil
sikap, pertama-tama harus mengetahui dan mengevaluasi diri
kita masing-masing mengenai “dimana” letak kita sebagai mahasiswa selama ini
dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Setelah itu kita akan menentukan
sikap kita dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Untuk itu, maka berikut
ini dijelaskan jenis-jenis mahasiswa Papua dalam perjuangan kemerdekaan Papua
Barat dan sikap yang harus diambil ke depan.
1.
Jenis
Mahasiswa Papua Barat[xli]
Secara umum
mahasiswa Papua Barat dikategorikan dalam enam jenis mahasiswa dalam memandang
dan menggapai perjuangan kemerdekaan Rakyat Papua Barat untuk merdeka lepas
dari NKRI dan pendukungnya (terutama Negara Dunia Pertama). Walaupun sama-sama
menyandang titel “mahasiswa” dan walupun sama-sama merasa diri sebagai orang
Papua, tetapi mempunyai perbedaan yang cukup tajam antara satu sama lain. Keenam
jenis mahasiswa Papua Barat itu adalah:
a.
Jenis
Mahasiswa Cari Makan
Jenis mahasiswa
Cari Makan adalah mereka yang hanya memikirkan perut mereka. Mereka ini mempunyai
banyak urusan dengan negara Indonesia untuk mendatangkan keuntungan bagi
mereka, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak para pejabat yang mempunyai kedudukan
yang sangat penting di negara Indonesia, atau mempunyai perusahan, LSM dan
lainnya. Kebanyakan dari jenis mahasiswa ini selalu mendukung Otonomi Khusus
Papua, Pemekaran Propinsi/Kabupaten dan lainnya sebagai “lahan” untuk mencari
makan.
b.
Jenis
Mahasiswa Malas Tahu
Jenis mahasiswa
Malas Tahu adalah jenis mahasiswa yang kalau Papua Barat merdeka mereka terima,
kalau tidak merdeka juga mereka tidak mempermasalahkannya. Kebanyakan mereka
adalah orang yang mau tahu tentang sekarang, bukan besok (masa depan). Kalau kelompok
yang mendukung Otonomi Khusus dan Pemekaran Propinsi/Kabupaten mempengaruhinya,
kereka bisa ikut. Sebaliknya kalau kelompok Papua Merdeka yang mempengaruhinya
mereka mau ikut juga, tetapi tidak sepenuh hati, hanya sekedar saja.
c.
Jenis
Mahasiswa Ikut Ramai (Panas-Panas Tahi Ayam)
Jenis mahasiswa
Ikut Ramai adalah mahasiswa yang bersemangat, mereka teriak Merdeka atau
Otonomi Khusus atau Pemekaran. Mereka muncul dengan semangat yang membara,
malah ada yang bersumpah akan mati demi Papua Barat Merdeka. Tetapi kalau ada
Program Otonomi Khusus dan Pemekaran Propinsi/Kabupaten, mereka selalu ajukan
permohonan bantuan dalam bentuk apa saja, atau terlibat dalam urusan pemerintah
NKRI dengan semangat yang membara pula. Kelompok ini muncul dengan sikap seperti
itu karena kurangnya pendidikan politik.
d.
Jenis
Mahasiswa Menunggu Uluran Tangan
Jenis mahasiswa
Menunggu Uluran Tangan adalah jenis mahasiswa yang selalu menunggu dukungan
dari pihak lain. Mereka selalu memasang telinga untuk mendengar berapa orang
non-Papua yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, berapa LSM yang mendukung kemerdekaan
Papua Barat, berapa negara yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, dan lainnya.
Jika ada dukungan mereka akan bersemangat dan akan menjadikannya sebagai buah
bibir, tetapi jika tidak ada dukungan dari pihak lain mereka akan selalu diam. Kelompok
ini adalah mahasiswa yang tidak percaya diri dan menggantungkan kemerdekaan
Papua Barat kepada pihak lain di luar diri mereka.
e.
Jenis
Mahasiswa Nekad (Membabi-buta)
Jenis mahasiswa
Nekad (membabi-buta) adalah mereka yang tidak perduli dengan apapun juga. Yang
mereka mau adalah Papua Barat harus merdeka dengan cara apa saja. Mereka
cenderung membenci orang Jawa, orang Islam, orang barat dan lainnya yang merugikan
hidup mereka atau mengorbankan perjuangan mereka. Perjuangan dengan jalan
membabi-buta dan membenci orang lain sangat sulit untuk mendapatkan dukungan
dari pihak lain, karena kecenderugan mereka bukan untuk Papua Barat merdeka,
tetapi karena membenci orang, golongan dan negara lain yang mengorbankan
kemerdekaan Papua Barat.
f.
Jenis
Mahasiswa Pejuang
Jenis mahasiswa
Pejuang adalah mahasiswa yang telah mengetahui dan memahami “masalah Papua
Barat”. Mereka matang dalam pendidikan politik, peduli dengan penderitaan
rakyat Papua Barat, sadar bahwa mereka dan rakyat mereka sedang dijajah. Mereka
ini selalu memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat kapan saja, dimana saja
dengan jalan yang efektif dan efisian dengan pemahaman dan pengetahuan yang
matang tentang perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka inilah yang secara
nyata terlibat dalam barisan rakyat Papua Barat untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsanya. Mereka mempunyai satu cita-cita dan tujuan bangsa dan
rakyatnya, yaitu “Papua Barat Merdeka”, karena itu mereka sangat sulit untuk
dipengaruhi oleh musuh, sehingga mereka akan selalu dibenci oleh musuh
perjuangan mereka. Inilah mahasiswa Papua Barat yang tulen dalam perjuangan
kemerdekaan Papua Barat.
2.
Sikap
Mahasiswa Papua
Sebuah kenyataan
yang tak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa Papua Barat adalah orang Papua,
berkebangsaan Papua, mempunyai ras Negroid dari rumpun Melanesia dengan ciri
fisik berkulit hitam dan berambut keriting. Ini adalah sebuah kenyataan. Mahasiswa
Papua Barat juga adalah orang yang mempunyai wilayah sebagai tempat tinggalnya
dan hidup di wailayah itu. Ini juga kenyataan.
Walaupun
demikian, tidak semua mahasiswa sadar bahwa mereka adalah orang Papua. Merak
tidak sadar bahwa rakyatnya, yaitu orang tua dan sanak-saudarnya sendiri sedang
terjajah, dan lebih gawat adalah mereka sendiri sering menggadaikan diri sambil
menyangkal bahwa mereka bukan orang Papua. Ini sesuatu yang ironis.
Untuk itu, agar
dapat sadar diri sebagai orang Papua, dan memahami dinamika kehidupan bangsanya dan rakyatnya, maka
mahasiswa Papua Barat harus mempunyai sikap yang tegas dalam menanggapi
dinamika kehidupan yang terjadi di Papua Barat tanpa harus menjadi orang munafik. Untuk sampai kepada pengambilan
sikap secara tegas dan konsisten dalam
perjuangan kemerdekaan Papua Barat, maka beberapa langkah harus dilakukan,
yaitu:
a.
Sadar
Diri
Pertama-tama
harus duduk dan merenung sebentar dan sadarlah bahwa kita adalah orang Papua.
Sadarlah bahwa kita tidak sama dengan orang lain. Sadarlah bahwa kita mempunyai
pengalaman hidup yang berbeda dalam segala hal. Setelah itu ambillah kesimpulan
bahwa kita mempunyai harga diri, kita mempunyai bangsa, kita berhak menjadi negara
merdeka, dan lainnya yang mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa kita
mempunyai harga diri sebagai manusia, yaitu manusia Papua yang mempunyai
kedudukan yang sama dengan manusia dan bangsa lain di dunia ini.
b.
Melihat
Kondisi Obyektif
Mahasiswa sebagai
kaum intelektual, tentu tidak akan terlepas dari cara berpikir secara obyektif,
yaitu memandang sebuah masalah secara nyata tanpa memihak apa-apa dan
siapa-siapa. Karena itu lihatlah masalah Papua Barat dari sisi obyektifitasnya,
lihat pula penjajahan Papua Barat oleh nation-state lain secara obyektif
pula. Disana kita bisa menemukan letak kebenaran sebuah persoalan, misalnya
letak kebenaran masalah Papua Barat berkaitan dengan tuntutan kemerdekaannya.
c.
Belajar
Selain harus
berpikir dan bertindak secara obyektif, kita juga diharapkan untuk banyak
belajar. Belajar tidak harus di kampus (pendidikan formal), tetapi belajarlah
di luar kampus, belajarlah untuk memahami realita sosial, belajarlah untuk
mendengarkan ratap tangis rakyat Papua Barat, dan belajarlah untuk memetahkan
sebuah persoalan secara benar. Pelajaran yang kita butuhkan di luar kampus
misalnya adalah pendidikan politik, pelatihan jurnalistik, manajemen sumber
daya manusia, latihan kepemimpinan dan lainnya. Di sanalah kita bisa mengambil
banyak ilmu dan pengetahuan untuk bekal perjuangan kita ke depan.
d.
Berjuang
Menjadi pejuang
dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat tidak sulit. Cukupkanlah kita
mempunyai kemauan yang sungguh-sungguh bahwa kita mempunyai cita-cita kebenaran
di masa depan, bahwa Papua Barat harus merdeka. Sementara mengenai taktik dan
strategi perjuangan kita bisa menggunakan banyak cara asalkan kita tahu
cara-cara tersebut. Untuk memulai menjadi pejuang kita harus memulai dengan
cara kita masing-masing, sedikit demi sedikit, dan dari diri kita
masing-masing. Sehingga dengan cara masing-masing, sedikit demi sedikit, dan
diri kita sendiri, kita akan menciptakan barisan pejuang yang panjang, banyak
cara yang efektif dan akan membawa kemerdekaan Papua Barat itu ke sebuah alam yang nyata, yaitu di atas
“tanah tumpah darah Papua Barat yang kita cintai.”
D. Penutup
Suatu ketika,
pertengahan bulan Juli 2005, disebuah diskusi aktivis kemerdekaan Papua Barat
di Jakarta, waktu itu saya diminta untuk menjadi pembicara. Saya ditanya oleh
seseorang begini: kira-kira Papua bisa merdeka atau tidak? Kalau bisa merdeka,
kira-kira kapan? Saya cukup terkejut mendengar pertanyaan seperti itu. Maklum,
saya bukan seorang peramal yang bisa meramalkan tentang merdeka tidaknya Papua
Barat dan waktu merdekanya Papua Barat. Tetapi saya juga sadar bahwa saya harus
memberikan jawaban kepada orang tersebut.
Sebagai
jawabannya saya menanyakan kembali kepada orang tersebut: kalau orang Papua
berjuang, kira-kira Papua Barat bisa merdeka atau tidak? Kalau perjuangan itu
dilakukan secara baik, benar dan sungguh-sungguh kira-kira Papua Barat bisa
merdeka atau tidak? Dia cukup bingung mendengar pertanyaan saya. Akhirnya, saya
mengatakan bahwa soal Papua Barat merdeka atau tidak itu urusan nanti,
persoalan kapan merdekanya juga urusan nanti, yang menjadi masalah sekarang
adalah orang Papua harus berjuang untuk merdeka, karena jika waktunya tiba,
maka kita akan menikmati hasil perjuangan itu. Bagi saya kemerdekaan Papua
Barat hanya soal waktu, karena waktu tidak pernah berdusta kepada siapapun
juga!
Selamat Bekerja. ***
Salam Pembebasan!
“Persatuan Tanpa Batas
Perjuangan Sampai Menang”
Salam Revolusi!
“Bersama Kebenaran Sejarah Sang Bintang
Kejora
Referensi
[i] Alasan ini didasarkan pada Deklarasi Batavia tanggal 1 Maret 1910
yang menyatakan Nederlandsch Nieuw Guinea (Papua Barat) tidak termasuk Hindia
Belanda, dan diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja
Nederland tanggal 24 Agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan
Papua Barat).
[ii] Yakobus F. Dumupa, Pemekaran Propinsi Irian Jaya: Dari Manipulasi
Aspirasi Sampai Konspirasi Politik (sebuah buku baru yang akan diterbitkan
dalam waktu dekat).
[iii] The Liang Gie, Pertumbumbuhan Pemerintahan Propinsi Irian Jaya,
Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, 1968. Hal.,
10.
[iv] Ibid., hal., 13.
[v] Agus A. Alua, Op.Cit., hal. 68.
[vi] The Liang Gie, Op. Cit., hal. 17-18.
[vii] Tumbuhnya paham “Nasionalisme Papua” di Papua Barat mempunyai
sejarah yang panjang dan pahit. Sebelum dan selama perang dunia ke II di
Pasifik, nasionalisme secara khas dinyatakan melalui gerakan Millinerian,
Mesianic dan “Cargo-Cultis”.
[viii] Pendiri sekolah ini, yaitu J. P. van Eechoud oleh banyak orang Papua
dijuluki sebagai “Vader der Papoea’s” (Bapak Orang Papua).
[ix] Yorrys Th. Raweyai, Mengapa Papua Ingin Merdeka, Presidium Dewan
Papua, Jayapura, 2002. Hal. 16.
[x] Ibid., 16
[xi] Kemerdekaan Papua Barat sah secara de facto karena
kemerdekaan itu benar-benar terjadi secara nyata pada tanggal 1 Desember 1961.
[xii] Sementara sah secara de jure karena kemerdekaan Papua Barat
1 Desember 1961 dilegalkan oleh berbagai produk hukum. Secara hukum nasional
Indonesia termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “bahwa sesungguhnya
kemerdekaan adalah hak segala bangsa oleh sebab itu penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan ….” . Secara hukum internasional, misalnya Pasal 73 Piagam PBB
yang berbunyi “All people have the right to self determination regardless of
their state of development” dan berbagai konvensi internasional lainnya.
[xiii] Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat (TRIKORA), Markas Basar
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Jakarta,
2000.
[xiv] Ottis Simopiaref, Dasar-dasar Kemerdekaan Papua Barat, sebuah
ringkasan dari buku Karkara (tidak diketahui tahun, tempat dan penerbitnya).
[xv] Prof. Dr. Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan
Majapahit, LKiS, Yogyakarta, 2005. Hal. 125.
[xvi] Dr. George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat
dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia, Elsam, Jakarta,
2000. Hal. 189-190.
[xvii] Agus A. Alua, Op. Cit., hal. 67.
[xviii] Ibid.: 67.
[xix] Yakobus F. Dumupa, Op. Cit., hal. 22.
[xx] Perjanjian ini diusulkan oleh Amerika Serikat yang dalam teknisnya
disiapkan oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker.
Perjanjian ini mengatur tatacara penyelesaian sengketa status politik di Papua
Barat antara Belanda dan Indonesia lewat tindakan bebas memilih (Act of Free
Chice) yang akan dilaksanakan tahun 1969.
[xxi] Agus A. Alua, Op. Cit., hal. 69-73.
[xxii] Ibid.: 72-73.
[xxiii] DEMUS artinya Dewan Musyawarah, yaitu kumpulan 1025 orang wakil
rakyat Papua Barat yang ditunjuk dan dipaksa oleh pemerintah dan militer
Indonesia untuk memberikan suara dalam PEPERA 1969.
[xxiv] OPM lahir di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965 dengan pemimpin
kharismatisnya adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.
Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan,
Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas.
[xxv] Seth Jafet Rumkorem adalah putra seorang “Pejuang Merah Putih” yang
tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan
terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di
Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di
Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Papua Barat dengan pangkat Letnan
Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro.
[xxvi] Jakob Prai kini tinggal di Malmo Swedia. Dia menjabat sebagai
Kepala Missi Politik OPM Urusan Luar Negeri (International).
[xxvii] TEPENAL kini telah berubah nama menjadi TPN. Artinya tetap sama,
yaitu Tentara Pembebasan Nasional, hanya saja sering digandeng dengan huruf
“PB” menjadi TPN-PB artinya Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.
[xxviii] Dr. Georga Junus Aditjondro, Op. Cit., hal. 19-20.
[xxix] Ibid., hal. 21.
[xxx] Yakobus F. Dumupa, Op. Cit., hal. 277.
[xxxi] http//:www.geocities.com/opm-irja, Sejarah Organisasi Papua
Merdeka, 30 Agustus 2006.
[xxxii] Intelijen, Keluarga Wanggai Binaan Intel Amerika, 7-20 April 2006.
[xxxiii] Dr. George Junus Aditjondro, Op. Cit., hal. 29.
[xxxiv] Amnesty International adalah sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang berkedudukan di London Inggris yang bergerak di bidang
penegakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
[xxxv] Yakobus F. Dumupa, Suaka Politik: Perang Diplomasi Indonesia versus
Papua Barat dan Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat (sebuah buku baru yang
akan diterbitkan dalam waktu dekat).
[xxxvi] Data ini tidak termasuk pelanggaran HAM yang terjadi setelah tahun
2000. Selain itu data ini tidak termasuk semua wilayah Papua Barat. Yorrys Th.
Raweyai, Op. Cit., 57.
[xxxvii] Penulis lebih suka menyebut Presiden Soeharto dengan sebutan “raja”
menggatikan kata Presiden. Hal ini dikarenakan oleh praktek
politik-pemerintahan era Orde Baru yang dijalankan oleh Soeharto dengan
mengadopsi “gaya”politik-pemerintahan raja-raja Jawa kuno.
[xxxviii] Yakobus F. Dumupa, Pemekaran Propinsi Irian Jaya: Dari Manipulasi
Aspirasi Sampai Konspirasi Politik (sebuah buku baru yang akan diterbitkan
dalam waktu dekat).
[xxxix] T-100 adalah istilah yang diberikan oleh Penulis untuk menyebut Tim
Seratus. Istilah ini tidak seperti biasanya penulisan dan penyebutan “Tim
Seratus” atau “Tim 100” selama ini. Tetapi esensinya sama saja yaitu dalam
menunjuk “Tim Seratus”, yang berbeda hanya pada penulisan dan penyebutan.
[xl] Mengenai Resolusi Kongres selengkapnya lihat: Agus A. Alua, Op.
Cit., hal. 97
[xli] Sebenarnya menurut Sem Karoba, dkk., ada tujuh jenis orang Papua
dalam cara pandang dan cara tindak dalam menempatkan diri terhadap perjuangan
kemerdekaan Papua Barat. Bagian ini diambil dikutip dari pendapat Sem Karoba,
dkk. dengan banyak perubahan dalam tulisan ini. Selengkapnya lihat: Sem Karoba,
dkk., Masyarakat Adat Menggugat: Mengungkap para Musuh Masyarakat Adat dan Cara
Melawan Mereka, Watch Papua, Yogyakarta, 2004. Hal. 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar