Pages

Pages

Rabu, 11 September 2013

Praktek Kekerasan di Tanah Papua

Yohanis Ajoi, mahasiswa STF Fajar Timur,
Abepura, Papua (Foto: Dok pribadi)
Oleh: Johanis Ajoi*

Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak universal semua manusia. Karena itu relasi makluk hidup yang bernama manusia harus pula dibangun atas dasar prinsip tersebut. Relasi yang memungkinkan perjumpaan manusia dengan ciptaan-ciptaan lain berlangsung di bumi ini. Manusia berelasi di atas pilar kesetaraan yang adil.  Prinsip dasar ini harus disadari dan dipahami dengan baik oleh semua orang tanpa terkecuali.

Sedikit menarik bila kita melihat sepak terjang perjalanan hubungan antar individu yang selama ini berjalan. Menurut hemat kami beberapa hal telah berjalan baik namun ada juga hal-hal yang perlu dilihat dan dikritisi.

Dalam melihat dinamika itu kami coba merujuk pemikiran seorang ahli Sosiologi asal Jerman, Max Weber tentang  tindakan-tindakan sosial. Baginya, semua tindakan manusia apa pun bentuknya jika dilakukan dalam keadaan sadar, misalnya; tersenyum, berbicara dengan orang lain, bekerja mencari nafkah bahkan berperang mempertahankan negara hingga merumuskan undang-undang.  Kesemua tindakan ini adalah tindakan dan aktifitas sosial manusia. Manusia sebagai makluk sosial sungguh hidup dalam kebersamaan dengan yang lainnya.

Lantas pertanyaan yang muncul mengapa di dalam kelompok manusia yang notabene adalah manusia rasional malah terjadi praktek kekerasan. Malah yang lebih memprihatinkan adalah tindak kekerasan itu sengaja dilegalkan oleh negara.  Hak- hak hidup manusia dilanggar demi sebuah kepentingan dan keuntungan. Harga diri kemanusiaan digadai bagai barang yang tak bernilai.

Melihat realitas ini batin kita sebagai manusia sungguh tercabik. Rasa kemanusiaan kita diganggu sebagai sesama ciptaan yang memiliki martabat hidup yang sama dihadapan Tuhan. Inikah yang akan membanjiri kelabu wajah dunia yang terus mencari kehidupannya.

Dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan penghormatan martabat kemanusiaan. Apakah praktek kekerasan itu dapat diatasi dan apakah solusi yang terbaik dalam mengusahakannya secara khusus yang terjadi di Papua?
Berangkat dari keprihatinan ini kami akan mengurainya lebih dalam melalui keseluruhan tulisan ini.

 Aneka Bentuk Kekerasan
Telinga kita seperti sesak dipenuhi beragam komentar dan pendapat tentang kekerasan. Kekerasan menjadi wacana yang senantiasa hangat untuk diperbincangkan. Baik oleh masyarakat biasa pada umumnya hingga kaum intelektual dan para elit politik. Tidak heran bahwa kekerasan sungguh menjadi nama yang sangat familiar untuk kita. Walaupun begitu kita harus memilah dan membedah apa itu tindak kekerasan dan bentuk-bentuknya. Sehingga tidak terjadi kekeliruan interpretasi yang menyesatkan banyak orang dengan persepsi yang salah. Karena memang sadar atau tidak secara kasat mata telah terbangun suatu konsep yang salah tentang kekerasan yang selama ini marak terjadi.

Kekerasan pada dasarnya adalah praktek pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang meliputi: baik rasa aman, nyaman, keselamatan maupun hidup. Bila hal-hal ini dilakukan baik secara sadar maupun tidak oleh seseorang ataupun sebuah institusi tetap merupakan sebuah tindakan kekerasan. Apa pun bentuknya, di mana pun tempat dan situasinya pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia adalah pelanggaran kemanusiaan. Dalam hal ini praktek kekerasan merupakan satu domain yang hangat saat ini dalam masyarakat yang plural. Kekerasan sendiri dibedakan menjadi dua pengertian: Pertama, kekerasan langsung (fisik) dan Kedua, kekerasan tidak langsung (non fisik). Dua bentuk kekerasan ini memiliki dikotominya masing-masing dengan wujud dan bentuk yang beragam pula. Dalam kekerasan fisik yang pertama tindakan ini dapat dilihat secara kasat mata misalnya: pemukulan, penusukan, penembakan, hingga pembunuhan dengan senjata. Kekerasan bentuk kedua yang non fisik itu diantaranya: kekerasan struktural seperti, praktek kekerasan dalam bidang perekonomian, sosial, budaya hingga politik yang juga diikuti dengan tindak kekerasan ketiga yaitu alienasi . Kekerasan bentuk ketiga inilah yang saat ini sungguh nyata dalam mekanismenya yang kasat mata. Seperti diantaranya; a. Kekerasan langsung; b. Kekerasan tak langsung; c. Kekerasan represif; d. Kekerasan alienatif. ( Jamil Samil. 2005, 41-42) . Dalam prakteknya kekerasan yang telah disebutkan diatas ini cenderung  berupa kesengajaan yang terencana. Hal ini berbeda dengan bentuk kekerasan yang terjadi dalam sejarah bangsa ini misalnya, pemberontakan Semanggi yang dalam upaya menggugurkan kepemimpinan dan menjadi pemicu runtuhnya pemerintahan orde baru.   Kekerasan alienatif lebih kompleks dan rumit.

 Kekerasan di Tanah Papua
Menyimak fenomena kekerasan yang menghegemoni di Papua saat ini. Pandangan kita akan terarah untuk melihat sekilas historisitas bangsa melanesia ini. Perjalanan bangsa ini penuh liku dalam duri yang menusuk hingga menyisakan ingatan akan penderitaan (memoria passionis) hingga kini. Tonggak sejarah kekerasan ini dimulai ketika pada tanggal 2 Januari 1962, presiden Soekarno membentuk Komando Mandala untuk pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makasar. Komando operasi Mandala ini diketuai oleh May.Jen Soeharto. Tugas pokoknya adalah merencanakan persiapan dan menyelenggarakan operasi militer untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia.

Tonggak sejarah inilah yang menjadi titik kulminasi praktek kekerasan di bumi cendrawasih.  Lantas sesudahnya negara Republik Indonesia melakukan serangkaian operasi untuk menyukseskan misi Soekarno dalam usaha mengintegrasikan Irian Barat (selanjutnya; Papua) ke dalam kedaulatan NKRI. Serangkaian operasi itu diantaranya; Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Bratayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), dan Operasi Sapu Bersih (1985) . Lanjutan dari operasi militerisme ini menjadikan tanah Papua sejak saat itu hingga kini diangkat statusnya menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Tidak mengherankan juga bahwa pada akhirnya sumpah Soekarno bahwa sebelum fajar menyingsing tanggal 1 Mei 1963, sang saka Merah Putih harus sudah berkibar di Puncak Cartenz pun terwujud  .

Sungguh tragis memang melihat sepak terjang militer di tanah Papua ini. Lebih menyedihkan lagi karena secara sadar, tahu dan sengaja dilakukan atas nama negara. Papua menjadi primadona yang begitu diinginkan oleh negara Republik Indonesia. Implikasinya adalah setiap orang atau kelompok yang hendak memperjuangkan pembebasan dan penghargaan hak-hak martabat hidup manusia Papua dan tanah Papua. Sekonyong-konyong akan distigma sebagai separatis dengan anggapan bahwa mereka melakukan tindakan makar pada negara.

Beberapa contoh kasus kekerasan yang berujung pada pencabutan hak hidup itu dialami oleh beberapa tokoh penting Papua. Misalnya pada ; Arnold Ap, seorang budayawan Papua yang berupaya mengembalikan identitas dan jati diri Papua melalui simbol-simbol budaya Papua. Akhirnya berujung pada kematian setelah ditangkap oleh Kophasanda ( kini Kopasus), dan pada tanggal 26 April 1984 mayatnya ditemukan di pantai pasir Jayapura . Pembunuhan ini tidak berhenti sampai di situ. Kisah pilu yang berikutnya menimpa Dr. Thom Wanggay, yang berani memproklamasikan negara Papua Barat di tengah kota satelit Jayapura. Ia ditangkap dan dibunuh dalam ruang tahanan ketika menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang- Jakarta, tanggal 13 Maret  1996.  Serentetan kisah kekerasan ini berlanjut dan berpuncak pada pembunuhan ketua Presidum Dewan Papua, Theys Hiyo Elluay. Inisiatif pembunuhan selalu dimulai dengan penangkapan hingga menyudut pada penculikan dan akhirnya pembunuhan secara misterius . Serangkaian peristiwa ini mengajarkan kepada kita bahwa pendekatan militerisme hanya akan memakan korban jiwa yang tak berkesudahan di tanah ini. Serentetan operasi-operasi militer mulai dari tahun 1963- hingga kini serta pembunuhan terhadap orang Papua harus segera dihentikan. Pemerintah perlu menyelesaikan masalah Papua ini secara lebih serius dan simultan. Untuk itu diperlukan suatu pemahaman dan pola pendekatan baru yang lebih menyentuh sisi-sisi kemanusiaan (humanity approach).

Solusi Penyelesaian Konflik Kekerasan
Tidak ada jalan lain selain pendekatan damai dan bermartabat yang harus ditempuh untuk menyelesaikan konflik di tanah ini. Dinamika dan realita sosial telah memberikan banyak pelajaran bahwa atas alasan apa pun pendekatan militerisme tidak pernah akan tuntas maupun konprehensif dalam menyelesaikan konflik kekerasan yang ada. Kalau pun berhenti itu bukan berarti hilang. Satu hal yang harus disadari adalah bahwa setiap manusia Papua memiliki harkat dan martabat yang sama dengan saudaranya yang berasal dari daerah lain. Prinsip ini harus diyakini, dihidupi bahkan harus mengakar dalam diri setiap pengambil kebijakan negara ini. Sehingga jangan sampai terjadi bahwa orang Papua hanya dilihat sebagai manusia primitif korban dari arus perkembangan zaman yang harus ditransformasi. Keyakinan ini juga yang diamini oleh tokoh pejuang hak asasi kemanusiaan, P. Neles Tebay, yang mengatakan bahwa: “Setiap orang punya dimi meski kadarnya berbeda. Hargai orang lain dengan dimi masing-masing, tidak usah ada cemooh dan beda-membedakan. Kami terlatih dengan budaya egaliter sehingga jauh dari rasa inferiorty”.  Dengan persepsi dan pandangan yang telah direkonstruksi ini barulah kita bersama membangun suatu komunikasi dan dialog yang setara dan bermartabat sebagai bangsa yang berdaulat. Harapannya jangan sampai muncul lagi stigma-stigma negatif seperti; makar, separatis bahkan hingga teroris. Bila pendekatan dengan hati yang di gunakan cepat atau lambat akar polemik bangsa ini akan segera rampung secara damai dan holistik. Walau muncul juga pesimisme terhadap keberlangsungan dan keber-ada-an dialog damai oleh beberapa pihak . Dikuatkan dengan kesan betapa masyarakat yang ada sekarang di Papua sangat majemuk dan rawan bila terjadi masalah SARA, yang akan menambah pelik persoalan yang ada .

Namun dibalik kabut pesimistis yang ada. Muncul satu keyakinan dan optimisme bahwa masalah ini akan segera terselesaikan. Harapan ini muncul melalui konsep dialog damai Jaringan Damai Papua yang dipromulgasikan oleh; Neles Tebay. Menurutnya untuk menyelesaikan konflik yang ada, perlu diidentifikasi terlebih dahulu sumber dan akar dari konflik itu. Sehingga dialog yang dilakukan ini dipandang berhasil apabila memenuhi beberapa kriteria diantaranya; 1. Pemerintah dan orang Papua mencapai kesepakatan tentang ciri-ciri dari ‘Papua Tanah Damai’ yang ingin diperjuangkan oleh kedua belah pihak, bersama dengan seluruh komponen masyarakat sipil. 2. Pemerintah dan orang Papua mencapai kesepakatan tentang solusi-solusi untuk mengatasi masalah-masalah mendasar tersebut beserta penyebab-penyebabnya, dan sekaligus memperlancar proses terciptanya ‘Papua, Tanah Damai’. Dan yang terpenting ialah, 3. Pemerintah dan orang Papua mencapai kesepakatan tentang tindak-lanjut dan aksi yang konkrit untuk menindaklanjuti kesepakatan bersama itu . 

Pada akhirnya Pater. Neles Tebay, sungguh meyakini dan percaya bahwa apabila dialog Jakarta-Papua ini berhasil, maka bukan orang Papua tetapi Pemerintah Indonesia yang akan menuai pujian, penghargaan, pengakuan dan kepercayaan dari komunitas internasional . Akhirnya terselip harapan bahwa praktek kekerasan yang ada di tanah Papua ini akan teratasi secara adil, damai dan bermartabat.
*Johanis Ajoi adalah Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Filsafat dan Theologi Fajar Timur, Abepura, Papua.


Sumber :  www.suarapapua.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar