Yohanis Ajoi, mahasiswa STF Fajar Timur,
Abepura, Papua (Foto: Dok pribadi)
|
Oleh: Johanis Ajoi*
Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan
hak universal semua manusia. Karena itu relasi makluk hidup yang bernama
manusia harus pula dibangun atas dasar prinsip tersebut. Relasi yang
memungkinkan perjumpaan manusia dengan ciptaan-ciptaan lain berlangsung
di bumi ini. Manusia berelasi di atas pilar kesetaraan yang adil.
Prinsip dasar ini harus disadari dan dipahami dengan baik oleh semua
orang tanpa terkecuali.
Sedikit menarik bila kita melihat sepak
terjang perjalanan hubungan antar individu yang selama ini berjalan.
Menurut hemat kami beberapa hal telah berjalan baik namun ada juga
hal-hal yang perlu dilihat dan dikritisi.
Dalam melihat dinamika itu kami coba
merujuk pemikiran seorang ahli Sosiologi asal Jerman, Max Weber tentang
tindakan-tindakan sosial. Baginya, semua tindakan manusia apa pun
bentuknya jika dilakukan dalam keadaan sadar, misalnya; tersenyum,
berbicara dengan orang lain, bekerja mencari nafkah bahkan berperang
mempertahankan negara hingga merumuskan undang-undang. Kesemua tindakan
ini adalah tindakan dan aktifitas sosial manusia. Manusia sebagai
makluk sosial sungguh hidup dalam kebersamaan dengan yang lainnya.
Lantas pertanyaan yang muncul mengapa di
dalam kelompok manusia yang notabene adalah manusia rasional malah
terjadi praktek kekerasan. Malah yang lebih memprihatinkan adalah tindak
kekerasan itu sengaja dilegalkan oleh negara. Hak- hak hidup manusia
dilanggar demi sebuah kepentingan dan keuntungan. Harga diri kemanusiaan
digadai bagai barang yang tak bernilai.
Melihat realitas ini batin kita sebagai
manusia sungguh tercabik. Rasa kemanusiaan kita diganggu sebagai sesama
ciptaan yang memiliki martabat hidup yang sama dihadapan Tuhan. Inikah
yang akan membanjiri kelabu wajah dunia yang terus mencari kehidupannya.
Dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan
dan penghormatan martabat kemanusiaan. Apakah praktek kekerasan itu
dapat diatasi dan apakah solusi yang terbaik dalam mengusahakannya
secara khusus yang terjadi di Papua?
Berangkat dari keprihatinan ini kami akan mengurainya lebih dalam melalui keseluruhan tulisan ini.
Aneka Bentuk Kekerasan
Telinga kita seperti sesak dipenuhi beragam
komentar dan pendapat tentang kekerasan. Kekerasan menjadi wacana yang
senantiasa hangat untuk diperbincangkan. Baik oleh masyarakat biasa pada
umumnya hingga kaum intelektual dan para elit politik. Tidak heran
bahwa kekerasan sungguh menjadi nama yang sangat familiar untuk kita.
Walaupun begitu kita harus memilah dan membedah apa itu tindak kekerasan
dan bentuk-bentuknya. Sehingga tidak terjadi kekeliruan interpretasi
yang menyesatkan banyak orang dengan persepsi yang salah. Karena memang
sadar atau tidak secara kasat mata telah terbangun suatu konsep yang
salah tentang kekerasan yang selama ini marak terjadi.
Kekerasan pada dasarnya adalah praktek
pelanggaran hak-hak kemanusiaan yang meliputi: baik rasa aman, nyaman,
keselamatan maupun hidup. Bila hal-hal ini dilakukan baik secara sadar
maupun tidak oleh seseorang ataupun sebuah institusi tetap merupakan
sebuah tindakan kekerasan. Apa pun bentuknya, di mana pun tempat dan
situasinya pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia adalah pelanggaran
kemanusiaan. Dalam hal ini praktek kekerasan merupakan satu domain yang
hangat saat ini dalam masyarakat yang plural. Kekerasan sendiri
dibedakan menjadi dua pengertian: Pertama, kekerasan langsung (fisik)
dan Kedua, kekerasan tidak langsung (non fisik). Dua bentuk kekerasan
ini memiliki dikotominya masing-masing dengan wujud dan bentuk yang
beragam pula. Dalam kekerasan fisik yang pertama tindakan ini dapat
dilihat secara kasat mata misalnya: pemukulan, penusukan, penembakan,
hingga pembunuhan dengan senjata. Kekerasan bentuk kedua yang non fisik
itu diantaranya: kekerasan struktural seperti, praktek kekerasan dalam
bidang perekonomian, sosial, budaya hingga politik yang juga diikuti
dengan tindak kekerasan ketiga yaitu alienasi . Kekerasan bentuk ketiga
inilah yang saat ini sungguh nyata dalam mekanismenya yang kasat mata.
Seperti diantaranya; a. Kekerasan langsung; b. Kekerasan tak langsung;
c. Kekerasan represif; d. Kekerasan alienatif. ( Jamil Samil. 2005,
41-42) . Dalam prakteknya kekerasan yang telah disebutkan diatas ini
cenderung berupa kesengajaan yang terencana. Hal ini berbeda dengan
bentuk kekerasan yang terjadi dalam sejarah bangsa ini misalnya,
pemberontakan Semanggi yang dalam upaya menggugurkan kepemimpinan dan
menjadi pemicu runtuhnya pemerintahan orde baru. Kekerasan alienatif
lebih kompleks dan rumit.
Kekerasan di Tanah Papua
Menyimak fenomena kekerasan yang
menghegemoni di Papua saat ini. Pandangan kita akan terarah untuk
melihat sekilas historisitas bangsa melanesia ini. Perjalanan bangsa ini
penuh liku dalam duri yang menusuk hingga menyisakan ingatan akan
penderitaan (memoria passionis) hingga kini. Tonggak sejarah kekerasan
ini dimulai ketika pada tanggal 2 Januari 1962, presiden Soekarno
membentuk Komando Mandala untuk pembebasan Irian Barat yang berkedudukan
di Makasar. Komando operasi Mandala ini diketuai oleh May.Jen Soeharto.
Tugas pokoknya adalah merencanakan persiapan dan menyelenggarakan
operasi militer untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam Republik
Indonesia.
Tonggak sejarah inilah yang menjadi titik
kulminasi praktek kekerasan di bumi cendrawasih. Lantas sesudahnya
negara Republik Indonesia melakukan serangkaian operasi untuk
menyukseskan misi Soekarno dalam usaha mengintegrasikan Irian Barat
(selanjutnya; Papua) ke dalam kedaulatan NKRI. Serangkaian operasi itu
diantaranya; Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Bratayudha (1967-1969),
Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977),
Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982),
Operasi Tumpas (1983-1984), dan Operasi Sapu Bersih (1985) . Lanjutan
dari operasi militerisme ini menjadikan tanah Papua sejak saat itu
hingga kini diangkat statusnya menjadi Daerah Operasi Militer (DOM).
Tidak mengherankan juga bahwa pada akhirnya sumpah Soekarno bahwa
sebelum fajar menyingsing tanggal 1 Mei 1963, sang saka Merah Putih
harus sudah berkibar di Puncak Cartenz pun terwujud .
Sungguh tragis memang melihat sepak terjang
militer di tanah Papua ini. Lebih menyedihkan lagi karena secara sadar,
tahu dan sengaja dilakukan atas nama negara. Papua menjadi primadona
yang begitu diinginkan oleh negara Republik Indonesia. Implikasinya
adalah setiap orang atau kelompok yang hendak memperjuangkan pembebasan
dan penghargaan hak-hak martabat hidup manusia Papua dan tanah Papua.
Sekonyong-konyong akan distigma sebagai separatis dengan anggapan bahwa
mereka melakukan tindakan makar pada negara.
Beberapa contoh kasus kekerasan yang
berujung pada pencabutan hak hidup itu dialami oleh beberapa tokoh
penting Papua. Misalnya pada ; Arnold Ap, seorang budayawan Papua yang
berupaya mengembalikan identitas dan jati diri Papua melalui
simbol-simbol budaya Papua. Akhirnya berujung pada kematian setelah
ditangkap oleh Kophasanda ( kini Kopasus), dan pada tanggal 26 April
1984 mayatnya ditemukan di pantai pasir Jayapura . Pembunuhan ini tidak
berhenti sampai di situ. Kisah pilu yang berikutnya menimpa Dr. Thom
Wanggay, yang berani memproklamasikan negara Papua Barat di tengah kota
satelit Jayapura. Ia ditangkap dan dibunuh dalam ruang tahanan ketika
menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang- Jakarta, tanggal
13 Maret 1996. Serentetan kisah kekerasan ini berlanjut dan berpuncak
pada pembunuhan ketua Presidum Dewan Papua, Theys Hiyo Elluay. Inisiatif
pembunuhan selalu dimulai dengan penangkapan hingga menyudut pada
penculikan dan akhirnya pembunuhan secara misterius . Serangkaian
peristiwa ini mengajarkan kepada kita bahwa pendekatan militerisme hanya
akan memakan korban jiwa yang tak berkesudahan di tanah ini. Serentetan
operasi-operasi militer mulai dari tahun 1963- hingga kini serta
pembunuhan terhadap orang Papua harus segera dihentikan. Pemerintah
perlu menyelesaikan masalah Papua ini secara lebih serius dan simultan.
Untuk itu diperlukan suatu pemahaman dan pola pendekatan baru yang lebih
menyentuh sisi-sisi kemanusiaan (humanity approach).
Solusi Penyelesaian Konflik Kekerasan
Tidak ada jalan lain selain pendekatan
damai dan bermartabat yang harus ditempuh untuk menyelesaikan konflik di
tanah ini. Dinamika dan realita sosial telah memberikan banyak
pelajaran bahwa atas alasan apa pun pendekatan militerisme tidak pernah
akan tuntas maupun konprehensif dalam menyelesaikan konflik kekerasan
yang ada. Kalau pun berhenti itu bukan berarti hilang. Satu hal yang
harus disadari adalah bahwa setiap manusia Papua memiliki harkat dan
martabat yang sama dengan saudaranya yang berasal dari daerah lain.
Prinsip ini harus diyakini, dihidupi bahkan harus mengakar dalam diri
setiap pengambil kebijakan negara ini. Sehingga jangan sampai terjadi
bahwa orang Papua hanya dilihat sebagai manusia primitif korban dari
arus perkembangan zaman yang harus ditransformasi. Keyakinan ini juga
yang diamini oleh tokoh pejuang hak asasi kemanusiaan, P. Neles Tebay,
yang mengatakan bahwa: “Setiap orang punya dimi meski kadarnya berbeda.
Hargai orang lain dengan dimi masing-masing, tidak usah ada cemooh dan
beda-membedakan. Kami terlatih dengan budaya egaliter sehingga jauh dari
rasa inferiorty”. Dengan persepsi dan pandangan yang telah
direkonstruksi ini barulah kita bersama membangun suatu komunikasi dan
dialog yang setara dan bermartabat sebagai bangsa yang berdaulat.
Harapannya jangan sampai muncul lagi stigma-stigma negatif seperti;
makar, separatis bahkan hingga teroris. Bila pendekatan dengan hati yang
di gunakan cepat atau lambat akar polemik bangsa ini akan segera
rampung secara damai dan holistik. Walau muncul juga pesimisme terhadap
keberlangsungan dan keber-ada-an dialog damai oleh beberapa pihak .
Dikuatkan dengan kesan betapa masyarakat yang ada sekarang di Papua
sangat majemuk dan rawan bila terjadi masalah SARA, yang akan menambah
pelik persoalan yang ada .
Namun dibalik kabut pesimistis yang ada.
Muncul satu keyakinan dan optimisme bahwa masalah ini akan segera
terselesaikan. Harapan ini muncul melalui konsep dialog damai Jaringan
Damai Papua yang dipromulgasikan oleh; Neles Tebay. Menurutnya untuk
menyelesaikan konflik yang ada, perlu diidentifikasi terlebih dahulu
sumber dan akar dari konflik itu. Sehingga dialog yang dilakukan ini
dipandang berhasil apabila memenuhi beberapa kriteria diantaranya; 1.
Pemerintah dan orang Papua mencapai kesepakatan tentang ciri-ciri dari
‘Papua Tanah Damai’ yang ingin diperjuangkan oleh kedua belah pihak,
bersama dengan seluruh komponen masyarakat sipil. 2. Pemerintah dan
orang Papua mencapai kesepakatan tentang solusi-solusi untuk mengatasi
masalah-masalah mendasar tersebut beserta penyebab-penyebabnya, dan
sekaligus memperlancar proses terciptanya ‘Papua, Tanah Damai’. Dan yang
terpenting ialah, 3. Pemerintah dan orang Papua mencapai kesepakatan
tentang tindak-lanjut dan aksi yang konkrit untuk menindaklanjuti
kesepakatan bersama itu .
Pada akhirnya Pater. Neles Tebay, sungguh
meyakini dan percaya bahwa apabila dialog Jakarta-Papua ini berhasil,
maka bukan orang Papua tetapi Pemerintah Indonesia yang akan menuai
pujian, penghargaan, pengakuan dan kepercayaan dari komunitas
internasional . Akhirnya terselip harapan bahwa praktek kekerasan yang
ada di tanah Papua ini akan teratasi secara adil, damai dan bermartabat.
*Johanis Ajoi adalah Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Filsafat dan Theologi Fajar Timur, Abepura, Papua.
Sumber : www.suarapapua.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar