Pages

Pages

Sabtu, 14 September 2013

INTEL DI PAPUA MENAKUT-NAKUTI MASYARAKAT PAPUA DALAM MOBIL TUJUAN PEDALAMAN MEUWODIDE

TIMIKA.  Ternyata di Papua bukan hanya militer Indonesia yang sedang melakukan pengejaran, penangkapan, dan pembunuhan terhadap manusia Papua tetapi banyak orang asli Papua yang telah menjadi intel atau mata-mata dari para penjajah di bumi Papua.

Berikut ini adalah, kisah yang saya alami dalam mobil tujuan Dogiyai, Deiyai, dan Paniai pada, 5 Agustus 2013

Di Papua, saya melihat dan menyaksikan bahwa banyak orang Papua yang jalan bergaya-gaya depan masyarakat dengan pistol di sakunya. Ada yang sengaja pistolnya di digantungkan di depan celana,  ada yang bawah di tangan sementara ada sebagian intel yang pistolnya isi di dalam tas.

Para intel-intel ini bukan hanya memantau situasi dalam masyarakat tetapi mereka mulai menakut-nakuti masyarakat Papua dengan kata-kata yang tidak manusiawi seperti, apakah betul kamu mau merdeka?, apakah kamu adalah OPM?. Sementara itu, intel Orang Papua sering mengatakan “kamu jangan macam-macam nanti saya tembak kamu, kamu jago apa, kamu besar apa dan lain kata yang sering dilontarkan kepada masyarakat Papua.

Ada satu orang intel orang asli Papua ikut dalam mobil yang saya sudah tempati di bangku belakang.  Jumlah penumpang dalam mobil adalah 9 orang dihitung dengan sopir. Kami mulai star mobil jam 07:15 malam dari Nabire.

Setelah kami melewati gunung Gegodimi, ada satu orang penumpang mulai berkata dengan sangat keras “kamu semua diam, tidak ada penumpang yang bicara-bicara dalam mobil sampai tiba di tempat tujuan”. Beberapa menit kemudian seorang pemuda itu mulai macam-macam dengan masyarakat Papua atau penumpang yang ada dalam mobil. 

Dalam suasana yang diam kami tiba di kilo meter 70 pada pukul 12:20 malam. Tiba-tiba, seorang pemuda itu mengatakan dengan keras “kamu jangan macam-macam, saya ini kepala intel di Dogiyai, Deiyai, dan Panai, kalau ada yang macam-macam nanti saya tembak satu persatu sampai nyawa kamu habis di tengah hutan ini”. 

Sebelum tiba di kilo meter 80, seorang pemuda yang mengaku diri intel itu  menyuruh sopir untuk diberhentikan mobilnya dan mulai tuding kami dengan pistol yang dia miliki. Tidak hanya itu, para penumpang yang ada dalam mobil dipaksa turun dari mobil.

Melihat situasi yang mulai memanas itu, saya mengeluarkan kartu mahasiswa dan mencoba berbicara dengan pemuda yang sedang kacau dalam mobil itu. Kata saya kepada pemuda yang mengaku diri intel itu, Ini malam jadi tidak mungkin ada mobil dari belakang, saya mohon bapak harus duduk tenang supaya kami penumpang itu bisa tiba di tempat tujuan.  Waeee, babi kamu siapa yang bicara?. Kata dia kepada saya sambil melihat saya. Saya langsung kasih kartu mahasiswa. Kamu mahasiswa itu yang mengacaukan dalam NKRI, kamu mahasiswa itu yang minta Merdeka sampai mengorbankan rakyat Papua dan berbagai macam kata yang dia ucapkan kepada saya. Saya hanya mendengar saja apa yang dia ungkapkan.

Setelah kami melewati kilo meter 100 sekitar pukul 02:30an malam, seorang yang mengaku diri kepala intel itu mengusir penumpang yang ada dalam mobil di bangku belakang dan disuruh pindah di kursi depan padahal kursi depan juga penuh (ada empat orang penumpang). Tidak hanya itu, intel memaksa sopir untuk diberhentikan mobilnya dan bermalam di tengah jalan padahal mobil masih stabil dan sopirnya masih semangat untuk menghantar penumpang ke tempat tujuan masing masing.

Dari kilo meter 130, intel Papua itu menagi uang kepada kami penumpang yang ada dalam mobil dengan bahasanya “Weeee, kamu semua tambah ongkos 300 ribu. Kalau kamu tidak sumbang 300 ribu perorang maka kamu semua turun disini”. Kata intel kepada kami penumpang. Namun kami penumpang sepakat untuk tidak sumbang akhirnya beberapa menit kemudian dia berdiam diri

Setelah tiba di Deiyai, intel itu memaksa sopir untuk di turunkan semua penumpang di Tigido saja padahal ada penumpang tujuan Waghete dan Enarotali. Namun karena sopir masih saja bersih keras untuk menghantar penumpang ke tempat tujuan masing-masing penumpang maka kami yang penumpang tujuan Waghete dihantar dengan baik oleh sopir orang  Bugis.

Sampai di Waghete, seorang pemuda yang mengaku diri Intel itu paksa saya untuk  tambah ongkos sebesar 500 ribu. Saya tidak terima dengan baik akan pembicaraan intel itu dan saya langsung tarik dia dari mobil dan lanjut dengan baku marah. Dalam kemarahan, intel itu mengeluarkan pistol dari tasnya dan hampir saja tembak saya. Untung ada orang di sekitar itu, kalau tidak ada orang yang menahan kita dua berarti saya tidak tahu apakah dia duluan yang korban atau saya yang korban.

Itulah cara-cara yang sedang dijalankan oleh Orang Asli Papua yang telah menjadi kaki tangan dari Indinesia. Selamat menjadikan diri anda sebagai anak buah dari penjahahan sebab suatu saat hasilnya anda sendiri yang akan rasakan dalam waktu yang cepat atau lambat. (Bidaipouga Mote)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar