Pages

Pages

Senin, 20 Mei 2013

PEPERA 1969 DI PAPUA ADALAH SEJARAH PALSU DAN CACAT HUKUM

Oleh : Socratez Sofyan Yoman
Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia selalu membanggakan diri dengan klaim bahwa Papua adalah bagian Indonesia yang sudah final melalui PEPERA 1969 dan Papua merupakan bekas jajahan Belanda sehingga otomatis masuk dalam Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun pertanyaannya ialah (1) Menpaga penduduk asli Papua tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969 tapi  sebaliknya secara konsisten dan terus-menerus melakukan perlawanan terhadap  sejarah diintegrasikan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia?  (2) Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah Indonesia? (3) Kalau status Papua sudah final dalam Indonesia, mengapa harus ada UU No. 21 Tahun 2001 sebagai solusi politik yang final? Jawaban dari tiga pertanyaan ini adalah Perlawanan rakyat Papua yang menuntut rasa keadiaan adalah beralasan. Karena Kalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dalam proses pelaksanaan dan sesudah PEPERA 1969. Terlihat dalam dokumen militer: Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun  yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR. Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir (Sumber: Laporan resmi PBB: Annex 1, paragraph 189-200). Adapun Surat Rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Kamando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan PEPERA di Merauke. Intin isi surat rahasia adalah sebagai berikut:Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai ketua Dewan Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk mengabungkan Papua dengan Republik Indonesia†(Sumber:  Dutch National Newspaper: NRC Handelsbald, March 4, 2000). Tidak saja masyarakat asli Papua yang melakukan perlawanan aneksasi Papua dan dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Tetapi, perwakilan Persirikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengawasi PEPERA 1969 di Papua Barat, Dr. Fernando Ortiz Sanz juga menyatakan dalam melaporkannya :Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk pribumi.[1] Ortiz menyatakan pula, Penjelasan orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua sangat tidak dipercayai. Sesuai dengan penjelasan resmi, alasan pokok pemberontakan Rakyat Papua yang dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan.  Karena, tanpa ragu-ragu penduduk Irian barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka ( Sumber: Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260). Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka (Sumber:  UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47). Berhubungan dengan kepalsuan sejarah pelaksanaan PEPERA 1969 dibawah tekanan militer Indonesia, anggota resmi PBB juga melakukan protes  keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB.  Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional.  Karena, hasil PEPERA 1969  itu dianggap melanggar hukum internasional , maka dalam Sidang Umum PBB hanya  mencatat take note.  Istilah œtake note itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat. Hasil PEPERA 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena  perlawanan sengit dari beberapa Negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana.  Itu menjadi terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York, Amerika Serikat, terbukti: 156  dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral (Sumber resmi:  Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5). Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum PBB, dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan kepada peserta PEPERA di Papua Barat yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang sampai Merauke.[2] Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibinggungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz  Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekreratis Jenderal. Contoh: kami dapat bertanya:

a. Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?b. Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja?c. Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?d. Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon? e. Mengapa prinsip one man, one vote yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?f. Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer? g.  Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa, hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?h. Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkupul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?[3] Protes Negara-Negara Afrika ini, J.P. Drooglever  menggambarkan sebagai berikut: Sekelompok negara-negara Afrika melancarkan kritiknya, yaitu mereka yang sejak tahun 1961 telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua (hal. 784).  

Berkaitan rekayasa pelaksaan PEPERA 1969 ini, para sejarawan juga menemukan bukti-bukti kepalsuan. J.P. Drooglever menemukan dalam penelitiannya : Laporan akhir Sekjen PBB seluruhnya didasarkan pada laporan Ortiz Sanz tentang peranannya dalam pelaksanaan Kegiatan Pemilihan Bebas. Laporan ini hanya berisi kritik yang lemah terhadap oposisi dari pihak Indonesia. Atas dasar ini, U. Thant tidak bisa berbuat lain kecuali menyimpulkan bahwa suatu (an) Kegiatan Pemilihan Bebas telah dilaksanakan. Ia (U Thant) tidak bisa menggunakan kata depan yang tegas (the), karena nilai-nilai proses situ jauh di bawah standar yang diatur dalam Persetujuan New York. Walaupun dapat ditafsirkan sebagai suatu penilaian yang mencibir, tetapi pihak-pihak yang justru mengabaikan pengkalimatan yang tidak jelas dalam persetujuan New York itu (hal.784). (Sumber: Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Drooglever mengatakan, œmenurut pendapat para pengamat Barat dan orang-orang Papua yang bersuara mengenai hal ini, tindakan Pilihan Bebas berakhir dengan kepalsuan, sementara sekelompok pemilih yang berada di bawah tekanan luar biasa tampaknya memilih secara mutlak untuk mendukung Indonesia (hal. 783). Ini bertentangan dengan karakter nasional yang sama sekali berbeda, dan hampir tidak ada paham nasionalisme Indonesia di kalangan orang-orang Papua (2010: hal.775).Dr. Hans Meijer, Sejarawan Belanda dalam penelitiannya yang berhubungan dengan hasil PEPERA 1969 di Papua Barat menyatakan bahwa PEPERA 1969 di Papua Barat benar-benar tidak demokratis.  Sebagian besar hal menarik adalah tentang dokumen-dokumen yang benar-benar tertulis dalam arsip. Sebab Menteri Luar Negeri, Lunz, dia menyatakan secara jelas dalam arsip surat bahwa dia percaya PEPERA 1969 dilaksanakan dengan cara tidak jujur sebab jikalau jujur orang-orang Papua bersuara melawan Indonesia, sungguh-sungguh itu tidak demokratis dan itu lelucon. Lunz juga, mengadakan pertemuan sangat rahasia dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik, bahwa Belanda meninggalkan Papua ketika PEPERA dilaksanakan. Bahwa Belanda telah mengetahui bahwa PEPERA 1969 benar-benar tidak demokratis, walaupun demikian Belanda tidak berbuat apa-apa tentang itu.  Mr. Saltimar adalah Duta Besar Belanda di Jakarta, pada waktu pelaksanaan PEPERA, dia menulis surat kepada Mr. Schiff sebagai Sekretaris Umum Luar Negeri, bahwa tentu saja dia melihat banyak hal yang salah tetapi itu bukan tanggungjawab untuk melaporkan tentang itu dalam dokumen-dokumen resmi. PEPERA 1969 adalah suatu penghinaan dan itu sesungguhnya tidak jujur dan itu perlu ditinjau kembali. (Documents show Dutch support for West Papua take-over, ABC Radio National Asia/Pasific Program.first broadcasting, 17 April 2001).Akademisi Inggris,  Dr. John Saltford yang melalukan penyelidikikan hasil pelaksanaan PEPERA 1969 menyatakan: tidak ada kebebasan dan kesempatan dalam perundingan-perundingan atau proses pengambilan keputusan orang-orang Papua Barat dilibatkan. Jadi, PBB, Belanda dan Indonesia gagal dan sengaja sejak dalam penandatanganan tidak pernah melibatkan orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur (John Salford: United Nations Involment With the Act of Free Self-Determination in West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968 to 1969). Saltford menyatakan, bahwa Dr. Fernando Ortiz Sanz sendiri menyampaikan laporan bahwa banyak pernyataan yang dia terima dalam akhir minggu tahun 1969  adalah melawan Indonesia, dengan demikian, alasan yang dapat diterima dalam kesimpulan bahwa jumlah sedikitnya 60% pernyataan ditujukan kepada PBB adalah melawan Indonesia dan setuju referendum secara jujur dan terbuka.Karena itu, Ortiz Sanz sendiri memilih untuk berhati-hati dalam Sidang Umum PBB, atau dia telah disampaikan untuk melakukan pembohongan itu oleh U.Thant. Pemerintah Amerika Serikat juga mengakui orang-orang asli Papua berkeinginan kuat untuk merdeka.Pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua (Sumber: Summarey of Jack W. Lydman report, July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).  Pengakuan itu tidak saja datang dari pemerintah Amerika Serikat  tetapi juga dating dari pemerintah Indonesia Sudjarwo, mengakui: banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia (Sumber Resmi: UNGA  Official Records MM ex 1, paragraph 126). Akibat dari rekayasa dan kepalsuan pelaksanaan PEPERA 1969 ini, belakangan ini  datang berbagai  tekanan dan gelombang protes untuk tinjau kembali status politik Papua. Tekanan-tekanan itu dari dari anggota Kongres Amerika, Parlemen  Inggris, Uni Eropa, Irlandia dan berbagai Negara.Pada 17 Februari 2005, Eni F.H. Faleomavaega menyurat kepada Pemerintah Amerika, Pada tahun 1969, Indonesia menyusun suatu pemilihan yang banyak berkaitan operasi yang brutal. Yang diketahui sebagai suatu Act of No Choice atau hukum yang tidak ada pemilihan, 1.025 pemimpin Papua Barat dibawah pengawasan militer yang kuat diseleksi untuk memilih atas nama 809.327 orang Papua barat untuk status politik wilayah itu. Perwakilan PBB dikirm untuk mengawasi dan melaporkan hasil proses pemilihan dan laporannya yang berbeda yang penghancuran serius Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsaâ€. Pada 14 Februari 2008, Eni F.H. Faleomavaega dan Donald Payne, Anggota Kongres Amerika melayangkan surat kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon,   “…Referendum (PEPERA 1969) bagi orang asli Papua itu dengan jelas menunjukkan bahwa tidak pernah dilaksanakan. Dalam fakta, 37 (tiga puluh tujuh) Anggota Kongres Amerika telah menulis surat, pada tahun 2006, kepada Tuan Annan meminta bahwa PBB tinjau kembali untuk melaksanakan pemerimaan PEPERA 1969 itu.  Pada 19 Juli 2002, 34 Anggota Parlemen Uni Eropa menyerukan kepada Komisi dan Parlemen Uni Eropa untuk mendesak Sekjen  PBB, Kofi Annan, dengan pernyataan sebagai berikkut: PEPERA 1969 lebih daripada lelucon. Jumlah 1.025 orang Papua, semuanya dipilih oleh penguasa Indonesia yang diijinkan untuk menyuarakan dengan menyatakan tidak ada pengawasan PBB, masa depan orang-orang Papua Barat 800.000 penduduk asli, mereka serentak bersuara tinggal dengan Indonesia.  Menyerukan kepada Dewan dan Komisi Uni Eropa untuk mendesak Sekjen PBB yang berhubungan dengan PEPERA 1969 dan mempertimbangkan kembali penentuan nasib sendiri di Papua Barat untuk menciptakan stabilitas wilayah Asia Timur Selatan (baca: Laporan Komisi Uni Eropa, the EC Conflict Prevention Assessment Mission: Indonesia, March, 2002, on unrest in West Papua).  Pada 31 Januari 1996, Parlemen Irlandia mengeluarkan resolusi tentang West Papua. Bunyi resolusi sebagai berikut. Ketidakjujuran pelaksanaan PEPERA 1969 sebagai pernyataan yang tidak murni dalam penentuan nasib sendiri orang-orang West Papua. Maka Parlemen Irlandia menyerukan kepada Pemerintah Irlandia meminta kepada PBB untuk menyelidiki pelaksanaan PEPERA yang menindas dan mengkhianati hak-hak asasi manusia dan mempertanyakan pengabsahan PEPERA 1969. Pada 1 Desember 2008, di gedung Parlemen Inggris, London, Hon. Andrew Smith, MP, dan The Rt. Revd. Lord Harries of Pentregarth dan 50 anggota Parlemen dari berbagai Negara menyatakan: kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan jujur dan benar mengakui penduduk asli Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri ( Self-Determination), karena masa depan mereka dihancurkan melalui  PEPERA 1969 Act of Free Choice 1969. Kami menyerukan kepada pemerintah-pemerintah melalui PBB mengatur untuk pelaksanaan penentuan nasib sendiri dengan bebas dan jujur.  Penduduk asli Papua Barat dapat memutuskan secara demokratis masa depan mereka sendiri sesuai dengan standar-standar hak asasi  Internasional, prinsip-prinsip hukum Internasional,  dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.Melihat akar permasalahan sejarah diintegrasikannya Papua ke delam wilayah Indonesia  yang penuh rekayasa, kepalsuan dan cacat hukum  seperti ini, jalan penyelesaian yang berprospek damai,  bermartabat dan manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua dengan pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, gagasan dialog Jakarta-Papua antara Pemerintah Indonesia dan penduduk asli Papua harus didukung semua komponen. Dialog damai yang dimaksud penulis adalah dialog tanpa syarat dan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral seperti dialog Jakarta-Aceh. Penulis adalah Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

Sumber : www.umaginews.com
visit www.loogix.com