Ilusterasi TAPOL KNPB Wilaya Timika |
Inggris — TAPOL, sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang berbasis di London, siang tadi, Senin (29/4/2013) telah
meluncurkan sebuah laporan, dengan judul, “Tidak Ada Tahanan Politik? Pembungkaman protes politik di Papua Barat”.
Dalam laporan setebal 31 halaman tersebut, TAPOL menggugat pemerintah
Indonesia yang selalu menekankan bahwa negara Indonesia ini tidak
memiliki tahanan politik.
“Pemerintah tidak bisa berdalih tak ada tahanan politik di Papua.
Mereka terdiri dari para laki-laki dan perempuan yang nyata ada dan
harus diakui,” kata Paul Barber, Koordinator TAPOL, melalui siaran pers
yang dikirim rekdasi suarapapua.com, Senin (29/4/2013).
“Jika pemerintah berniat untuk membangun perdamaian di Papua Barat,
mereka harus berbicara dengan para pimpinan politik, bukan justru
memenjarakannya,” kata Barber.
Menurut Barber, laporan 31 halaman tersebut mendesak Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono untuk membuka ruang demokrasi di Papua Barat dan
memerintahkan pembebasan kepada semua pihak yang dipenjara karena
mengekspresikan opini dan aspirasi.
Laporan ini juga mendokumentasikan kasus-kasus terhadap 40 tahanan politik yang diketahui berada di penjara hingga Maret 2013.
“Hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah yang selama ini
mengklaim tidak ada tahanan politik di Papua dan hanya ada kriminal yang
melanggar hukum,” tambah Barber.
Laporan ini didasarkan pada penelitian dan wawancara yang dilakukan oleh TAPOL dan data dari http://www.papuansbehindbars.org, sebuah upaya inisiatif baru dari kelompok masyarakat sipil di Papua Barat dan telah dilaunching di Jayapura, awal bulan ini.
Laporan ini juga mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 210
peristiwa penangkapan bernuansa politik di Papua Barat sepanjang tahun
2012, namun tampaknya penangkapan yang terjadi jauh lebih banyak, namun
tidak dapat dilaporkan.
Setidaknya, 20 orang dituduh melakukan makar di bawah aturan yang kontroversional, pasal 106 KUHP.
Sepanjang tahun 2012, penangkapan sewenang-wenang kepada aktivis
politik sering diikuti dengan pelanggaran hak asasi manusia dan standar
internasional, termasuk penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi,
penyangkalan atas hak-hak dalam peradilan yang jujur dan lemahnya akses
untuk mendapatkan layanan kesehatan dan perawatan medis yang layak.
Di balik angka statistik, terdapat narasi kemanusiaan dari kesulitan
yang dihadapi oleh para tahanan dan keluarganya. Seorang perempuan yang
diwawancara dalam laporan ini mendeskripsikan dampak yang dihadapi
anak-anaknya ketika dia dipenjara karena melakukan aktivitas politik.
Ia meyatakan, “Ketika saya berada di penjara, anak-anak saya seperti
anak jalanan.” Mina (bukan nama sebenarnya), adalah seorang istri yang
masih muda dari seorang tahanan politik, mengungkapkan kemisikinan,
isolasi dan stigma yang diterima ketika suaminya berada di penjara.
“Saya sakit malaria yang sangat parah. Saya harus menjual semua baju
dan selimut dan ketika saya sakit saya tidak punya uang untuk beli obat –
sangat mahal di sini. Ketika dia dipenjara, tidak ada orang yang
datang.”
TAPOL percaya bahwa publikasi dari laporan ini hadir pada saat
dukungan di tingkat nasional dan internasional untuk pembebasan tahanan
politik di Papua meningkat secara luas.
Menurut TAPOL, kampanye masyarakat akar rumput di Papua Barat telah
menghasilkan peningkatan dukungan dari kelompok-kelompok masyarakat
sipil nasional dan internasional, dan sejumlah negara yang menyatakan
keprihatinan tentang situasi ini saat Evaluasi Berkala Universal/Universal Periodic Review (UPR) Indonesia pada Dewan HAM PBB, tahun lalu.
Dalam beberapa bulan lagi, perkembangan terhadap hak sipil dan
politik di Indonesia akan mendapat sorotan ketika Komite Hak Asasi
Manusia PBB/UN Human Rights Committee akan membahas laporan pertama
pemerintah Indonesia sesuai kewajibannya di bawah pelaksanaan Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
“Untuk setiap tahanan politik di mana pemerintah mengabaikannya,
terdapat ribuan orang-orang Papua yang merasa sakit hati dan diabaikan.
Memberikan orang Papua hak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri
sama seperti warga negara lainnya adalah langkah awal menuju dasar
penyelesaian konfik,’ ujar Barber.
Sekedar diketahui, TAPOL, LSM yang berbasis di London ini bekerja
untuk mempromosikan hak asasi manusia, perdamaian dan demokrasi di
Indonesia.
Ia didirikan pada tahun 1973 oleh Carmel Budiardjo, mantan tahanan
politik di Indonesia, TAPOL berangkat dari kampanye akar rumput. Tapol
bekerja dengan organisasi lokal di Indonesia dan Papua Barat untuk
mengadvokasi kebenaran dan keadilan, dan mendorong masyarakat
internasional untuk mendukung.
OKTOVIANUS POGAU
Sumber : suarapapua.com