Pages

Pages

Selasa, 02 April 2013

SAFANPO: PEMEKARAN MENGKOTAK-KOTAKAN GENERASI MUDA PAPUA

 Ilustrasi ; Penderitaan Dalam Pemekaran Wilayah
Jayapura, 1/4  – Apolo Safanpo, Ketua Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Papua (ICAKAP) mengatakan, pemekaran telah mengkotak-kotakan Generasi Muda Papua.

“Pemekaran baik Provinsi maupun kabupaten serta pembangunan asrama-asrama yang dibangun berdasarkan suku telah mengkotak-kotakan Anak-anak Muda Papua,” kata Apolo Safanpo kepada wartawan di halaman SMU Taruna Bhakti Waena, Jayapura seusai menghadir Misa Paskah Nuansa Papua, Senin (1/4). Menurut Safanpo, pihaknya tetap ingin agar Generasi Muda Papua tetap berada dalam semangat kebersamaan dan kekeluargaan.

Sementara itu terkait ICAKAP, Aloysius Giay mengatakan, pertama pihaknya menyampaikan terima kasih kepada pengurus harian ICAKAP dan generasi mudanya yang sungguh luar biasa melaksanakan Misa Paskah Nuansa Papua.

Ilustrasi Pemekaran (IST)
“Kedua, barangkali harus dievaluasi untuk ke depan, terutama intelektual-intelektual Katolik harus betul-betul dilibatkan dalam tahapan pekerjaan dan terkhir, sangat menarik di dalam khotbah tadi disampaikan Pastor Frans bahwa apakah itu mempertahankan jati diri atau memperbaharui jati diri atau kembali pada jati diri. Ada tiga hal penting. Contoh, umat di kampung sekarang bukan makan dari kebun, bukan dari hasil jerih payahnya sendiri tetapi sekarang makan dari dana Otsus, raskin, beli sarden dan mie di toko,” tutur Giay.

Menurut Giay, Ini adalah salah satu pergumulan pemimpin umat untuk melihat hal ini. Bagi dia, ini sudah berubah arah iman sehingga hal-hal ini juga termasuk dalam kehidupan ekonomi umat yang harus diperhatikan ke depan.

“Saya harap ICAKAP melakukan identifikasi umat saat ini. Mana yang harus dipertahankan iman dalam budaya kita, mana yang harus diperbaharui dan mana yang harus kembali ke jati diri awal,” ujarnya.

Dia menambahkan, contohnya, Suku Mee di Paniai. Di dalam budaya maupun agama mengajarkan, kalau seorang yang mau menikah haruslah bisa membuat kebun, pagar dan perahu. “Kalau belum bisa berarti dia belum bisa menikah. Hal-hal budaya seperti ini yang menyatu (inkulturasi) dengan iman Katolik harus benar-benar kita kaji kembali dan di perbaharui kembali,”  harap Giay. (Jubi/Aprila Wayar)