Pages

Pages

Senin, 01 April 2013

Meratifikasi Protokol Nagoya: Berkat atau Malapetaka?

Foto : Selpius Bobii
Jika ini diimplementasikan nantinya masyarakat Papua bisa mendapat keuntungan baik dari pihak luar negeri maupun lokal dari hasil pemanfaatan SDG ini," 

tegas Hermono Sigit, Asisten Deputi Kementrian Lingkungan Hidup RI di Hotel Relat di Jayapura pada Kamis, 21 Maret 2013.

Barang tertentu indah di pandang mata, tetapi belum tentu mutunya terjamin. Manis mengumbar janji di bibir, tetapi belum tentu membayar janjinya. Lain bicara, lain tindakan. Lain tertulis, lain kerjakan. Latihan lain, main lain. Demikian pula dengan pernyataan pemerintah Indonesia melalui mas Hermono itu. 

Apa yang dikatakannya hanyalah mengelabui masyarakat adat Papua untuk meratifikasi dan mengimplementasi protokol Nagoya tentang Sumber Daya Genetik demi kepentingan RI dan kaum pemodal di dunia.

Masyarakat sudah tahu benar kelakuan Pemerintah Indonesia. Berbagai siasat digunakan RI untuk menimpu rakyat. Di saat mereka tampil menyampaikan sesuatu, mereka berjanji akan menjadi malaikat penyelamat, namun ternyata mereka menjadi malaikat perusak, penipu, penindas, pengisap, pembunuh, dan perampok berdasi.

Dalam artikel ini, saya membahas dua hal ini: Seperti apa protokol Nagoya dan bagaimana implementasinya? Apakah Protokol Nagoya itu mendatangkan berkat atau malapetaka bagi masyarakat adat Papua?

Implementasi Protokol Nagoya
Untuk mengimplementasikan Protokol Nagoya yang ditetapkan pada tanggal 30 Oktober 2010 di Jepang, Menteri Lingkungan Hidup menggelar Konfrensi Desa Adat Implementasi Protokol Nagoya pada tanggal 21 Maret 2013 di Hotel Relat di Jayapura, Papua. Konfrensi ini melibatkan perwakilan desa adat di Papua, Akademisi dan praktisi yang ada di Papua.

Tujuan dari konfrensi ini adalah memberikan pemahaman kepada desa adat tentang manfaat dari implementasi protokol Nagoya. Berikut ini komentar Menteri Lingkungan hidup RI, "Konfrensi ini diharapkan dapat memberikan hasil berupa pemahaman oleh (kepada) desa adat akan adanya pengaturan akses dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan sumber daya genetik serta melindungi dan memanfaatkan secara adil dan seimbang sumber daya genetik", ungkapnya, (Sumber:www.tabloidjubi.com/?p=16693).

Negara Indonesia telah menandatangani protokol Nagoya pada tanggal 11 Mei 2011 di New York. Menurut Kambuaya saat ini proses ratifikasi protokol negara sedang memasuki pembahasan di DPR RI. 

Tujuan lahirnya protokol Nagoya adalah (1) memberikan keuntungan yang adil dan keseimbangan yang timbul dari pemanfaatan sumber daya genetik agar dapat memberikan konstribusi terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan hayati serta merupakan instrumen untuk mencapai konvensi keanekaragaman hayati; dan (2) Kedua, melindungi sumber daya genetik dari pencurian sewenang-wenang (illegal).

Menurut B Kambuaya dalam Protokol Nagoya mengatur tentang pemanfaatan dan perlindungan sumber daya genetik. Desa adat akan mendapatkan keuntungan karena akan dibuat kesepakatan untuk memanfaatkan sumber daya genetik yang ada di desanya. Juga melalui Protokol Nagoya akan memberikan perlindungan sumber daya nabati dari pencurian illegal. 

Berikut ini kutipan komentar Kambuaya: Protokol Nagoya diharapkan menjadi suatu pengaturan Internasional yang komprehensif dan efektif dalam memberikan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia dan menjamin pembagian keuntungan bagi Indonesia sebagai negara sumber daya genetik,ujarnya (Sumber: www.tabloidjubi.com). 

Kambuaya juga menyatakan bahwa pihak kampus di Papua akan dilibatkan dalam menginventarisir kepemilikan masyarat adat di Papua agar semuanya jelas. (Sumber: www.tabloidjubi.com/?p=16702).

Protokol Nogoya memandatkan bahwa akses Sumber Daya Genetik (SDG) dapat dilakukan dengan ijin dari penyedia SDG (pengampu tradisional/pemilik hak ulayat) dan pemanfaatannya harus memberikan keuntungan bagi penyedia SDG itu sendiri.

Apakah memang benar protokol Nagoya dalam implementasinya akan memberikan manfaat bagi desa adat dan akan memberikan perlindungan sumber daya genetik? Pertanyaan ini dibahas dalam pokok bahasan ke dua di bawah ini.

Implementasi Protokol Nagoya, Berkat atau Malapetaka?
Konfrensi Desa Adat Implementasi Protokol Nagoya yang digelar di Hotel Ralat Jayapura yang dihadari oleh Wakil Desa Adat, Akademisi dan praktisi hukum di Papua itu apakah mendatangkan berkat atau malapeta bagi Masyarakat Adat Papua? 

Jawabannya: Protokol Nagoya bukan penyemalat untuk membawa ke luar orang Papua dari belenggu penindasan RI dan para sekutunya. Masyarakat Adat Papua yang telah menghadiri konfrensi itu ternyata tertipu dengan kelihaian pemerintah Indonesia melalui Mentri Lingkungan Hidup, B. Kambuaya dan para stafnya.

Kenapa saya katakan pemerintah Indonesia melalui menteri Lingkungan hidup menipu masyarakat adat Papua? Berikut ini ada beberapa alasan, antara lain:
Pertama, kegiatan itu disebut Konfrensi Desa Adat Implementasi protokol Nagoya. Kenapa mereka tidak sebut Konfrensi Masyarat Adat Implementasi Protokol Nagoya? 

Jawabannya: Jika dipakai Konfrensi Masyarakat Adat, maka pasti orang asli Papua teringat akan Konfrensi Besar Masyarakat Adat Papua, dan pasti itu diprotes dan orang asli Papua pasti ada yang tidak datang menghadiri kegiatan itu karena mengadopsi mekanisme demokrasi yang sudah dibangun oleh Masyarakat Adat Papua sejak tahun 2002. Karena itu untuk mengelabui masyarakat adat Papua, Pemerintah Indonesia gunakan kata konfrensi Desa Adat. Kalau pake kata desa adat, maka dapat pake juga distrik adat, kabupaten/kota adat, juga propinsi adat. 

Ini lucuh dan memalukan penggunaan kata Desa Adat. Dari sisi logika, kata ini tidak masuk akal, tetapi Pemerintah Indonesia mengakali hanya untuk mengelabui masyarakat adat Papua.

Kedua, selama ini Masyarakat Adat Papua berada di bawah Dewan Adat Papua untuk memperjuangkan hak-hak dasarnya, termasuk hak politik, maka Pemerintah Indonesia berusaha untuk merangkul masyarakat adat Papua melalui konfrensi yang digelar di hotel Relat dan itu suatu siasat untuk melemahkan peran dan fungsi Dewan Adat Papua melalui implementasi protokol Nagoya dengan desa adat di Tanah Papua.

Apakah protokol Nagoya itu benar-benar akan memberikan manfaat yang menguntungkan bagi masyarakat adat Papua? Jawabanku: TIDAK. Protokol Nagoya itu dibuat dalam rangka merampas semua kekayaan yang ada di desa-desa di seluruh tanah Papua.
                                                  ***
Coba kita bayang para mahasiswa di Kampus-kampus dan LSM tertentu di Tanah Papua akan diturunkan ke desa-desa untuk mendata /menginventarisir semua keanekaragaman hayati yang ada. Setelah didata, pemerintah Indonesia akan membuat dalam bentuk buku atau laporan untuk mempromosikan sumber-sumber daya genetik yang ada ke negara-negara di dunia. 

Dengan demkian masing-masing investor di mana saja berada berlomba-lomba datang ke Papua bertemu dengan masyarakat adat di desa-desa untuk meminta izin agar membuka perusahaan/usaha di desa-desa. Jika masyarakat di desa/kampung mengizinkan, maka Sumber Daya Genetik (perusahaan/pengusaha) akan mengadakan kesepakatan (perjanjian) dengan pemilik hak ulayat. 

Dan kemudian perusahaan Sumber Daya Genetik akan merampas kekayaan alam yang ada dan menghancurkan desa /kampung dan kepada pemilik hak ulayat diberikan sedikit hasil. Juga masyarakat kampung akan kehilangan tanah karena Sumber Daya Genetik akan mendatangkan  tenaga kerja yang profesional, mereka akan membangun rumah-rumah bagi para karyawan. Akhirnya masyarakat setempat akan tersisih dan kehilangan dusun/kampung serta kehilangan sumber daya hayati yang juga sebagai sumber kehidupan.

Camkanlah bahwa dengan adanya ratifikasi protokol itu akan memberi akses atau membuka pintu lebar-lebar dan menjadi jembatan emas bagi para investor dari dalam negeri dan investor asing dari negara-negara di dunia untuk masuk merebut dan merampas semua sumber daya genitik (sumber daya alam) yang ada di setiap desa/kampung di Tanah Papua.

Masyarakat Adat Papua di seluruh Tanah Papua jangan sekali-kali percaya dengan kelicikan pemerintah Indonesia, sekali pun mereka itu orang Papua, janganlah percaya. Siapa pun yang namanya ada dalam sistem NKRI adalah bekerja untuk Indonesia, bukan bekerja untuk keselamatan orang Papua dari penindasan RI dan para sekutunya. 

Siapa pun mereka dari RI dan para sekutunya yang datang bicara manis-manis, tetapi mereka sesungguhnya membawa malapetaka bagi kehancuran eksistensi masyarakat bangsa Papua pada masa kini dan jika ke depan protokol itu diterima, maka hal itu akan berdampak buruk pada keberlangsungan anak cucu Papua di masa depan.

Ingatlah bahwa implementasi protokol Nagoya di Papua bukan membawa kesejahteraan dan kedamaian tetapi melalui protokol itu akan menjadi jembatan untuk menghancurkan sumber-sumber kehidupan yang ada di desa/kampung di Tanah Papua.
Jangan sekali-kali menggadaikan tanah air Papua dengan berbagai tawaran apa pun dan dari pihak mana pun yang tidak akan memberikan damai sejahtera di Tanah Papua.

Masyarakat Adat Papua sudah dan sedang mengalami dampak dari pada perusahaan-perusahaan yang selama ini beroperasi di Tanah Papua, seperti PT. Freeport di Timika milik Amerika Serikat dan Tambang Minyak dan Gas di Sorong dan Bintuni milik Inggris. Mayoritas orang asli Papua tidak merasakan hasil-hasil dari perusahaan-perusahaan itu. Justru masyarakat setempat selama ini tersisih, terkena dampak limbah, sumber kehidupan dihancurkan, dan bahkan di atas tanah leluhur, orang asli Papua dibunuh dan disiksa, dll.

Kita sudah setengah abad lebih hidup di bawah penindasan RI dan para sekutunya. Itulah pengalaman pahit, maka jangan kita masuk ke dalam lubang yang sama lagi. Cukup sudah kita telah lama ditindas di atas tanah air dan kekayaan kita. Cukup sudah kita menjadi budak di negeri leluhur kita, sementara para pemukim baru yang datang dari luar menjadi tuan di negeri ini. 

Slogan menjadi tuan di atas negeri sendiri di era implementasi UU Otsus Papua hanyalah siasat politik kotor RI yang dipakai oleh orang Papua tertentu hanya untuk mengejar uang/kekayaan dan jabatan tertentu, dan ironisnya di antara mereka ada yang menjadi boneka dari negara Indonesia untuk balik menindas sesama orang asli Papua melalui sikap dan tindakannya yang mengkhianati perjuangan luhur bangsa Papua.

Apa yang kita dapatkan dari penerapan UU Otsus yang katanya mau sejahterakan orang asli Papua? Yang kita dapatkan di era Otsus Papua adalah marginalisasi, diskriminasi, ketidak-adilan, menjadi minoritas, dibunuh, diteror, dan sedang menuju kepunahan etnis Papua secara perlahan tetapi pasti. 

Dan sebaliknya, UU Otsus membuka pintu lebar-lebar bagi kaum migran yang didukung dengan pemekaran-pemekaran propinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung di seluruh Tanah Papua untuk menampung para migran baru itu. Jangan kita heran bahwa saat ini mereka menjadi tuan di negeri Papua. Coba anda lihat, pusat-pusat kota dan pusat-pusat perekonomian telah dikuasai oleh para pemukim baru, kita menjadi budak, budak dan budak.

Kita harus katakan: cukup,  cukup, dan cukup. Jangan lagi kita memberi izin untuk perusahaan apa pun yang datang menghancurkan tanah leluhur kita dan merampas kekayaan alam Papua. Jangan juga kita menjual tanah leluhur kepada siapa pun. 

Mereka telah lama merampas tanah dan kekayaan alam Papua, tetapi mereka mengabaikan hak-hak kita sebagai pemilik negeri ini yang diberikan oleh Pencipta YHWH/Tuhan. Jangan ada yang memberi izin dan bekerja sama dengan perusahaan apa pun sebelum menuntaskan status hukum dan politik bangsa Papua. Kita akan atur pengelolaan kekayaan di Tanah Papua dengan siapa pun setelah Papua merdeka penuh. Tetapi itu pun jika masyarakat adat bangsa Papua menghendaki demikian.

Apa yang harus kita buat sekarang? Saya berharap Dewan Adat Papua membenahi diri dan memproteksi tanah air dan kekayaan serta proteksi rakyat bangsa Papua dengan bekerja sama organ/faksi gerakan Papua yang ada serta pihak non pemerintahan yang sejalan dengan perjuangan hak-hak dasar orang asli Papua, termasuk hak politik (hak kedaulatan/kemerdekaan penuh bagi Papua). 

Selain itu, saya juga berharap masyarakat adat Papua melalui Dewan Adat Papua menolak protokol Nagoya yang akan menjadi jembatan emas masuknya para pengusaha/perusahaan dari dalam dan luar negeri untuk merampok sumber daya genetik (alam) dan menguasai/menghancur tanah air yang berdampak pada keberlangsungan rakyat bangsa Papua.

Selpius A. Bobii adalah Ketua Umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat. Saat ini ia menjadi tahanan politik Papua Barat di Penjara Abepura, Jayapura - Papua Barat.

Sumber :  majalahselangkah.com