SEPTI MEIDODGA (JUBI/APRILA) |
Jayapura, 29/4 – Dewan Perwakilan
Mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Cenderawasih (DPM BEM FISIP) Universitas
Cenderawasih Jayapura, Papua, menilai telah terjadi kontradiksi sejarah
identitas politik antar Papua dan Jakarta.
“Bangsa Papua adalah bangsa yang berdaulat karena telah memiliki
negara pada Tahun 1961. Inilah yang diyakini Masyarakat Papua.
Pernyataan ini bukan tidak beralasan namun tertulis, juga sebagai bukti
sejarah sehingga disebutkan sebagai seni budaya politik Orang Asli Papua
itu sendiri,” ungkap Septi Meidodga, Ketua Umum DPM BEM FISIP Uncen ke tabloidjubi.com di Kantin FISIP Uncen, Perumnas III Waena, Abepura, Kota Jayapura, Senin (29/4).
Menurut Meidodga, risalah sidang Nieuw Guinea Raad, 30
Oktober 1961 tentang manifesto politik yang diajukan oleh Komite
Nasional Papua sekaligus sebagai bukti sejarah Pemerintah Belanda di
Papua dan seni berpolitik elit Papua masa itu mengawali perjuangan
kemerdekaan Bangsa Papua yang akhirnya jatuh pada 1 Desember 1961.
“Komite Nasional Papua didirikan oleh De Rijke, seorang Indo-Belanda
pada 19 Oktober 1961. Pro-kontra terjadi selama persidangan yang
berbuntut pada hangatnya suhu politik hubungan Indonesia dan Belanda,”
kata Meidodga lagi.
Masih menurut Meidodga, politik penetrasi dan infiltrasi Indonesia ke
Papua adalah untuk menggagalkan segala upaya Pemerintah Belanda
memerdekakan Bangsa Papua terasa sangat menguat.
“Bahkan setelah perayaan kemerdekaan Bangsa Papua pada 1 Desember
1961, Pemerintah Inonesia mengatakan Papua adalah negara ‘boneka’ buatan
Belanda. Pidato Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia saat itu
meneriakan Tiga Komando Rakyat (Trikora) di alun-alun Kota Yogyakarta
untuk merebut kembali Papua Barat. Artinya, Papua pernah menjadi sebuah
negara yang merdeka,” tutur Meidodga. (Jubi/Aprila Wayar)
Sumber : tabloidjubi.com