Pengusaha menggunakan aparat
keamanan
untuk menembak beberapa warga
sipil di
Degeuwo, pada tahun lalu (Foto:
Ist)
|
PAPUAN, Nabire — Masyarakat Degeuwo saat ini
telah diperbudak oleh kaum kapitalisme dan konglomerat lokal. Para
pengusaha hanya mencari keuntungan, tapi tidak memperhatikan tanggung
jawab mereka untuk membangun masyarakat setempat.
“Kami minta kegiatan pembodohan yang dilakukan para pengusaha
terhadap masyarakat suku Mee, Wolani dan Moni harus segera dihentikan,”
ujar Sekertaris Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Wolani, Mee
dan Moni (LPMA SWAMEMO), Jhon Kobepa, saat ditemui suarapapua.com, di Pasar Oyehe, Nabire, Kamis (14/3/2013) kemarin.
Menurut Kobepa, dampak yang ditimbulkan pada semua sektor kehidupan,
seperti sektor ekonomi, kesehatan, pendidikan, apalagi jaminan
kesejahteraan hidup sangatlah memprihatinkan.
Padahal, lanjut Kobepa, sebelumnya, para pengusaha sudah berjanji
pada setiap kepala suku, jika usahanya sukses kelak, mereka akan
memperhatikan dengan serius masyarakat atau suku yang ada disepenjang
sungai Degeuwo.
Misalnya, seperti membangun gedung gereja disetiap lokasi, membangun
rumah pemukiman setiap kepala keluarga dari tiga suku, dan akan
membiayai anak sekolah mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi.
Juga, para pengusaha berjanji akan membangun asrama permanen bagi
pelajar dan mahasiswa asal tiga suku disetiap kota study, baik di Papua
maupun Jawa-Bali.
“Namun yang terjadi, setelah berhasil mengeruk emas-emas itu, mereka tidak lakukan seperti yang pernah dijanjikan.
Masyarakat hidup menderita. Hanya untuk makan sepiring, masyarakat
harus kerja dari pagi sampai malam dilokasi-lokasi para pengusaha itu,”
ujar Kobepa prihatin.
Malahan, lanjut Kobepa, masyarakat tiga suku di Degeuwo bukan lagi
menjadi kelas nomor satu, atau dua, tapi jauh dari itu. Artinya, para
pengusaha tidak menganggap mereka itu orang yang harus dihargai.
Masih kata Kobepa, selain hidup dipersulit, kejahatan demi kejahatan
pun semakin meningkat. “Kasihan, yang selalu menjadi korban adalah
masyarakat. Karena ulah orang lain dengan kepentingannya, masyarakatlah
yang tentu akan menjadi taruhan nyawa.”
Dikatakan Kobepa, hal seperti ini bukan sesuatu yang baru, melainkan
itu sudah terjadi semenjak pendulangan Degeuwo dibuka secara liar.
“Kami bosan menghadapi cara-cara seperti itu,” ungkap Kobepa yang
mengaku telah mendampingi masyarakat bersama sejumlah anak-anak muda di
LPMA SWAMEMO .
“Kami akan terus bersuara agar masyarakat tiga suku itu benar-benar
bisa mendapatkan apa yang menjadi hak mereka diatas tanahnya,” kata
Kobepa.
Kobepa juga menghimbau masyarakat Degeuwo dapat bersatu, kemudian
aparat keamanan juga dapat melaksanakan fungsi control dengan baik, agar
masyarakat tidak menjadi korban.
Disamping itu, pengusaha juga diharapkan berlaku adil, dan
memperhatikan kebutuhan masyarakat pemilik emas dan permata yang saat
ini telah menjadi terkikis.
Lokasi pertambangan Degeuwo terletak di tiga wilayah, yakni di
Kabupaten Paniai, Nabire, dan Intan Jaya. Para pengusaha liar dikabarkan
mengeruk banyak keuntungan, namun dampak positif sama sekali tidak
dirasakan masyarakat setempat.
AMOYE YOGI