Pages

Pages

Jumat, 15 Maret 2013

Masyarakat Tiga Suku Di Degeuwo Jadi Budak Kapitalisme

Pengusaha menggunakan aparat keamanan
untuk menembak beberapa warga sipil di
Degeuwo, pada tahun lalu (Foto: Ist)
PAPUAN, Nabire — Masyarakat Degeuwo saat ini telah diperbudak oleh kaum kapitalisme dan konglomerat lokal. Para pengusaha hanya mencari keuntungan, tapi tidak memperhatikan tanggung jawab mereka untuk membangun masyarakat setempat.

“Kami minta kegiatan pembodohan yang dilakukan para pengusaha terhadap masyarakat suku Mee, Wolani dan Moni harus segera dihentikan,” ujar Sekertaris Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Wolani, Mee dan Moni (LPMA SWAMEMO), Jhon Kobepa, saat ditemui suarapapua.com, di Pasar Oyehe, Nabire, Kamis (14/3/2013) kemarin.

Menurut Kobepa, dampak yang ditimbulkan pada semua sektor kehidupan, seperti sektor ekonomi, kesehatan, pendidikan, apalagi jaminan kesejahteraan hidup sangatlah memprihatinkan.

Padahal, lanjut Kobepa, sebelumnya, para pengusaha sudah berjanji pada setiap kepala suku, jika usahanya sukses kelak, mereka akan memperhatikan dengan serius masyarakat atau suku yang ada disepenjang sungai Degeuwo.

Misalnya, seperti membangun gedung gereja disetiap lokasi, membangun rumah pemukiman setiap kepala keluarga dari tiga suku, dan akan membiayai anak sekolah mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi.

Juga, para pengusaha berjanji akan membangun asrama permanen bagi pelajar dan mahasiswa asal tiga suku disetiap kota study, baik di Papua maupun Jawa-Bali.
“Namun yang terjadi, setelah berhasil mengeruk emas-emas itu, mereka tidak lakukan seperti yang pernah dijanjikan.

Masyarakat hidup menderita.  Hanya untuk makan sepiring, masyarakat harus kerja dari pagi sampai malam dilokasi-lokasi para pengusaha itu,” ujar Kobepa prihatin.

Malahan, lanjut Kobepa, masyarakat tiga suku di Degeuwo bukan lagi menjadi kelas nomor satu, atau dua, tapi jauh dari itu. Artinya, para pengusaha tidak menganggap mereka itu orang yang harus dihargai.

Masih kata Kobepa, selain hidup dipersulit, kejahatan demi kejahatan pun semakin meningkat. “Kasihan, yang selalu menjadi korban adalah masyarakat. Karena ulah orang lain dengan kepentingannya, masyarakatlah yang tentu akan menjadi taruhan nyawa.”
Dikatakan Kobepa, hal seperti ini bukan sesuatu yang baru, melainkan itu sudah terjadi semenjak pendulangan Degeuwo dibuka secara liar.

“Kami bosan menghadapi cara-cara seperti itu,” ungkap Kobepa yang mengaku telah mendampingi masyarakat bersama sejumlah anak-anak muda di LPMA SWAMEMO .

“Kami akan terus bersuara agar masyarakat tiga suku itu benar-benar bisa mendapatkan apa yang menjadi hak mereka diatas tanahnya,” kata Kobepa.

Kobepa juga menghimbau masyarakat Degeuwo dapat bersatu, kemudian aparat keamanan juga dapat melaksanakan fungsi control dengan baik, agar masyarakat tidak menjadi korban.

Disamping itu, pengusaha juga diharapkan berlaku adil, dan memperhatikan kebutuhan masyarakat pemilik emas dan permata yang saat ini telah menjadi terkikis.

Lokasi pertambangan Degeuwo terletak di tiga wilayah, yakni di Kabupaten Paniai, Nabire, dan Intan Jaya. Para pengusaha liar dikabarkan mengeruk banyak keuntungan, namun dampak positif sama sekali tidak dirasakan masyarakat setempat.

AMOYE YOGI