Pages

Pages

Selasa, 05 Maret 2013

KETIKA BINTANG KEJORA BERKIBAR DI LANGIT OTSUS PAPUA

Bendera Bintang Kejora dan
Bendera Merah Putih berkibar di
 halaman Kantor MRP beberapa tahun lalu.
 (Jubi/Levi)
Jayapura, 5/3—Inilah sejumlah kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora di dalam era pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Papua. Bendera Bintang Kejora terus jadi persoalan, bahkan momok menakutkan bagi aparat keamanan, maupun siapa saja yang melihatnya sebagai musuh. 

Walau Bendera Bintang Kejora (bersama Lagu Hai Tanahku Papua, dan Logo Burung Mambruk) selama ini dipergunakan sebagai  “simbol” Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang dari kacamata politik pemerintah Republik Indonesia (RI) sebagai separatis. Tapi Abdurrahman Wahid semasa menjabat Presiden RI di tahun 2000 lalu, sempat mengijinkan Bendera Bintang Kejora bisa dikibarkan asalkan bersamaan Bendera Merah Putih dengan syarat ukurannya lebih kecil dan tingginnya lebih rendah dari Bendera Merah Putih.

Masalah simbol Papua, seperti bendera, lambang dan logo untuk wilayah Papua telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua. Ini tertera dalam pasal 1 butir “h” dan pasal 2 ayat 2-3 yang menyebutkan bahwa lambang daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultur bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan Papua.

Selanjutnya, ketentuan itu diatur oleh Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Tapi sejak UU Otsus disahkan November 2001 dan mulai dilaksanakan Januari 2002 di Papua, hingga kini belum ada Perdasus dan Perdasi yang mengatur secara jelas “simbol” Papua itu.

Melihat ini, pernah pihak Majelis Rakyat Papua (MRP) pernah melakukan konsultasi publik dengan rakyat Papua tentang “simbol” untuk Papua dalam era Otsus Papua. Hasilnya, rakyat Papua menginginkan Bendera Bintang Kejora, lagu Hai Tanahku Papua dan Logo Burung Mambruk sebagai lambang kultur Papua.

Saat itu, MRP mencoba mengkaji usulan rakyat itu dari berbagai sisi, termasuk posisi Bendera Bintang Kejora dalam tatanan hukum Indonesia. MRP juga mengambil inisiatif mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan eksekutif segera membuat Perdasus, agar jangan ada lagi orang asli Papua dibantai hanya karena Bendera Bintang Kejora.

Saat almarhum Agus Alue Alua masih menjabat Ketua MRP, dia pernah mengatakan, secara resmi usulan dalam bentuk pokok pikiran telah disampaikan ke DPRP, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat di Jakarta. “Tapi di tengah jalan, ada lembaga negara yang tak setuju. Mereka bereaksi dan menciptakan kondisi beda pendapat dengan MRP, bahkan MRP sebagai lembaga yang dibentuk negara dituduh lembaga separatis,” katanya ketika itu, saat ditemui di Kantor MRP di Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, Rabu 19 Maret 2008 lalu.

Belum usai perdebatan itu, tiba-tiba tanggal 10 Desember 2007, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 (PP 77/2007) tentang Lambang Daerah. PP 77/2007 yang juga diberlakukan untuk Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Provinsi Papua ini mengisyaratkan agar lambang daerah (bendera, lagu, dan logo) tak boleh sama dengan lambang separatis. Akibatnya, bagi siapapun di Papua, membentangkan atau menampilkan lambang dan Bendera Bintang Kejora akan dianggap makar dan separatis atau pihak yang hendak mendirikan negara di dalam Negara RI.

Di Kota Manokwari, ibukota Provinsi Papua, 3 Maret 2008 lalu misalnya, ketika kelompok West Papua National Authority (WPNA) Wilayah II Manokwari bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Manokwari dalam aksi demonya membentangkan Bendera Bintang Kejora. Maka ada enam orang ditangkap polisi dan dijadikan tersangka, serta di sidang di Pengadilan Negeri Manokwari atas tuduhan makar.

Terus 1 Mei 2008, di halaman Kantor Kelurahan Yabansai, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Bendera Bintang Kejora kembali berkibar selama beberapa menit dan akhirnya diturunkan pihak kepolisian. Polisi sempat mencari pelaku pengibarnya.

Lalu 19 Juli 2008, kembali Bendera Bintang Kejora berkibar di tiang bendera Geduang Pepera di Jalan R.A. Kartini, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Dalam kasus ini, polisi menetapkan sembilan tersangka, enam diantaranya dijerat Pasal Makar yakni Pasal 106, jo. Pasal 107 dan jo Pasal 110 dan tiga lainnya dikenakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951, tentang senjata tajam (sajam).

Di Wamena, seorang warga bernama Anthonius Tabuni (40 tahun) tewas diterjang peluru aparat keamanan saat kepolisian menurunkan paksa Bendera Bintang Kejora di Lapangan Sinapuk, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, Sabtu 9 Agustus 2008 lalu. Bendera Bintang Kejora dikibarkan sejumlah warga saat perayakan Hari Internasional Bangsa Pribumi Se-dunia. Polisi menangkap sejumlah saksi dan mengetahui identitas dua orang pelakunya, yakni berinisial AW dan AH.

Sebelumnya di tahun 2007, tepatnya 3 Juli, Bendera Bintang Kejora dibentangkan dalam salah satu tarian dari Group Sampari asal Manokwari pada pembukaan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua (KBMAP) di Gedung GOR Cenderawasih, Kota Jayapura. Para pelaku sempat diperiksa polisi dan dimintai keterangannya.

Terus tiga hari sebelumnya, tepatnya 1 Juli 2007, Bendera Bintang Kejora sempat dikibarkan di atas atap Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas II A Abepura, Kota Jayapura. Pengibaran Bendera Bintang Kejora dilakukan tiga narapidana bernama Yusak Pakage, Simson Wenda, dan Cosmos Yual. Ketiganya mengaku kesal dan kecewa kepada petugas Lapas Abepura yang saat itu tak mengijinkan mereka mengadakan konfrensi pers terkait 1 Juli di dalam lingkungan Lapas Abepura.

Menurut Yusak, aksi pengibaran Bintang Kejora selama lima menit itu dilakukan secara spontan. Yusak Pakage sendiri merupakan terpidana 10-15 tahun penjara bersama rekannya Filep Karma dalam kasus makar terkait pengibaran Bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora Abepura, Rabu 1 Desember 2004 lalu.

Pada momen 1 Desember 2004 itu juga, di Biak Barat, Kabupaten Biak Numfor pihak kepolisian setempat menangkap Betseba Adabikam, ibu berumur 60 tahun yang mengibarkan Bendera Bintang Kejora di halaman rumahnya sendiri. Lalu setahun kemudian, 1 Desember 2005, kembali Filep Karma mengibarkan Bendera Bintang Kejora di atap Lapas Abepura selama 30 menit yang diikat di sebuah tiang kira-kira sepanjang dua meter.

Masih ada beberapa kasus serupa hingga di tahun 2013 dan kemungkinan di tahun-tahun akan datang. Kasus itu adalah kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora yang akhirnya pelaku akan ditangkap atau dikejar aparat keamanan. Tapi intinya, Bendera Bintang Kejora sepertinya akan terus menuai masalah. Tapi menurut Ketua MRP Agus Alue Alua ketika itu, jika nanti pemerintah mengakomodir Bendera Bintang Kejora dan simbol-simbol lainnya sebagai lambang daerah Papua, maka dijamin Papua akan tenang di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) .

“Saya jamin itu, kalau nanti PP 77/2007 tak berlaku di Papua dan Bintang Kejora bisa diakomodir, maka Papua akan jauh lebih aman di dalam NKRI. Sebaliknya, jika PP 77/2007 terus diberlakukan, maka masyarakat Papua akan terus dibayangi dua sikap yang bertentangan, yakni sikap yang represif dari aparat keamanan dan persuasif dari pemerintah. Sebab sejak awal lahirnya UU Otsus, rakyat Papua sudah dibayangi dua sikap yang bertentangan itu,” kata almarhum Agus, ketika itu.  (Jubi/Levi)