Pages

Pages

Senin, 04 Maret 2013

Ideologi Militan Orang Papua Sulit Diubah

Baru-baru ini kekerasan kembali meletup di Tingginambut dan Sinak, Papua. Korban tewas adalah delapan tentara dan empat warga sipil. Pemerintah didesak segera menemukan pelaku penembakan dan mengganjar mereka dengan hukuman setimpal. "Jika tidak segera ditangani dikhawatirkan gangguan keamanan dimanfaatkan kelompok tertentu bertujuan membuat instabilitas keamanan," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional Bara Hasibuan.


Dia mengatakan pemerintah harus cepat mengevaluasi kebijakan soal Papua. Seluruh opsi harus menjadi pertimbangan, termasuk dialog antara pusat dengan seluruh pihak di Papua.

Direktur Imparsial Al Araf menilai konflik Papua masih batas wajar sehingga tidak harus diatasi dengan pendekatan militer. "Saya kira eskalasi di Papua masih bisa ditangani melalui penegakan hukum di mana polisi masih tetap menjadi garda depan untuk mengatasi konflik di Papua," kata dia.

Bagaimana pendapat Yoris Raweyai, politikus Golkar asal Papua? Menurut dia, masalah Papua terjadi karena konsep penyelesaianya masih belum menyeluruh. Berikut penjelasan anggota Komisi I DPR Bidang Pertahanan dan Luar Negeri ini kepada Muhammad Taufik dari merdeka.com, Kamis (28/2).

Kenapa kekerasan di Papua terus terjadi?

Sebetulnya begini. Masalah Papua kalau konsep penyelesaiannya masih parsial seperti sekarang, niscaya tidak akan berakhir. Cara yuridis secara komprehensif sudah disepakati sebagai satu penyelesaian akhir melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 memiliki asas lex specialis.

Kalau kita bicara Papua, kita mampu apa tidak mendiagnosa masalah Papua begitu kompleks pasca 1961. Setelah pengembalian Irian Barat ke RI, kita baru melahirkan kebijakan-kebijakan. Saya kebetulan mengikuti penyelesaian masalah Papua ini sudah lama, sejak Orde Baru.

Kenapa saya terlibat secara langsung? Karena orang tua saya berjuang sejak 1949 dengan mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian. Waktu itu bersama-sama dengan Sam Ratulangi dan teman-temannya mendirikan itu dalam rangka integrasi Papua ke Republik Indonesia.

Makanya orang tua saya dimakamkan di taman makam pahlawan, mendapat bintang sebagai perintis kemerdekaan. Sehingga itu memotivasi saya, sebagai obsesi saya, tanggung jawab moral saya, dalam pengabdian saya. Memahami persoalan ini, saya tidak mau mundur terlalu jauh, tetapi mari kita melihat persoalan Papua pasca reformasi.

Pada 26 Februari 1999, saya termasuk satu dari seratus orang Papua datang menemui Presiden B.J. Habibie di Istana Negara secara terhormat dan bermartabat. Kami membacakan pernyataan sikap mewakili masyarakat Papua. Mencermati proses integrasi Papua dari 1961, Pepera 1969, kemudian dari 1969 sampai 1999, kami belum menemukan formula solusi benar.

Setelah banyak korban orang-orang Papua ketika pendekatan keamanan waktu rezim Orde Baru, kemudian melahirkan berbagai macam antipati, diskriminasi, dan sebagainya. Sehingga kami menyatakan jika sudah tidak ada jalan bagi kita menjadi satu, kenapa kita tidak berpisah secara damai? Kita sampaikan itu secara terbuka dan bermartabat karena di Istana Negara, bukan di mana-mana, bukan di hutan.

Nah, dari situ kemudian ada komunikasi. Pak Habibie bilang oke, mari kita pulang saling berfikir. Kemudian mari kita komunikasikan dialog itu, apa kira-kira solusi terbaik menyelesaikan persoalan itu. Ini perlu saya sampaikan supaya pemerintah sekarang, masyarakat di Papua, serta dunia internasional memiliki persepsi sama menyelesaikan masalah papua.

Apalagi kita punya komitmen Presiden SBY di periode pertama sudah mampu menyelesaikan masalah Aceh. Di tangan beliau kita harapkan persoalan Papua selesai di akhir masa jabatan beliau. Harus bisa selesai sehingga prestasi beliau berikan, yaitu menyelesaikan masalah Papua dan kredibilitas Indonesia di mata Internasional menjadi lebih baik.

Bagaimana sekarang?

Kemudian di era Gus Dur, komunikasi ini terus terbangun. Gus Dur setuju, pertama beliau mengembalikan nama Papua, menyetujui simbol kultur, yaitu bintang kejora, memberi izin lagu berjudul Hai Tanahku Papua sebagai simbol kebangsaan pada 1 Januari 2000. Kemudian beliau katakan, "Untuk masalah Papua, pemerintah pusing, sulit berdialog karena di sana terlalu banyak faksi." Memang saat itu banyak sekali.

Lalu kita sepakati, kemudian dibiayai oleh Gus Dur, kami membuat kongres adat Papua kedua. Di situlah struktur sudah mencerminkan semua yang ada di Papua. Kita lihat dalam struktur. Presidium Dewan Papua (PDP) itu sebagai gerbong perjuangan politik dipimpin oleh Theys H. Eluway. Kemudian ada dua kekuatan, mewakili kultur orang papua, pemerintahan adat, dan dewan adat. Dewan adat oleh Forkorus Yoboisembut sekarang dipenjara.

Kemudian sejajar dengan PDP itu ada dua sayap, Tentara Papua Merdeka (TPM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM), baik berjuang di dalam atau di luar. Kemudian pada 2000 kita melakukan rekonsiliasi dan kami saat itu bisa mengatur sehingga semua setuju. Akhirnya kongres terlaksana, dua pernyataan sikap disampaikan, dan ada harapan baru paca Gus Dur. Tapi landasannya belum terwujud, Gus Dur turun digantikan Megawati.

Kepada Megawati kita berharap menyelesaikan landasan hukum masalah orang Papua. Lalu kita temukan namanya UU Nomor 21 Tahun 2001, Otonomi Khusus bersamaan dengan Undang-undang Aceh. Ketika mekanisme dialog untuk mengisi undang-undang itu kami bangun, pemerintah mulai melakukan berbagai macam tekanan, Theys dibunuh.

Itu era pemerintahan siapa?

Itu eranya Megawati, Kepala Badan Inteligen Negara (BIN) Hendropriyono. Kemudian seluruh tokoh PDP ditangkap.

Apakah Anda juga pernah ditangkap?

Saya nggak lama, cuma tiga bulan di Mabes Polri. Waktu itu Rusdiharjo sebagai kapolri. Sebenarnya ada suatu proses sudah kita sepakati. UU Otsus itu produk pemerintahan Republik Indonesia pasca reformasi. Ini harus kita pahami sehingga nuansa demokrasi itu harus digelorakan, terbuka, dan mengubah cara berpikir sehingga penyelesaian masalah Papua tidak bisa secara parsial dan memakai pendekatan keamanan. Tetapi kesejahteraan dan keadilan.

Apakah konflik menjadi gambaran orang Papua belum sejahtera dan menerima keadilan?

Karena proses ini tidak bisa berkesinambungan di pemerintahan SBY. Kemudian lembagva pemerintah sekarang, seperti polkam, mendagri, BIN, TNI, berjalan sendiri-sendiri menurut perspektif mereka. Sehingga terjadi ego sektoral, lalu dari mana kita memulai lagi. Seperti sekarang, kita ajukan dialog, mereka bilang dialog sama siapa? Terlalu banyak faksi, saya setuju. Itu karena kami sudah membangun yang pertama tapi dihancurkan.

Dan ini bukan pembenaran. Lihat saja, dari 2001 sampai 2005, Papua relatif aman, tidak ada gejolak, Setelah itu, karena tokoh-tokoh ini dipenjarakan, kemudian ada yang meninggal, masyarakat mulai tidak percaya, karena pemerintah sudah berjanji tetapi tidak ada.

Sedangkan komitmen kultur orang Papua dengan membentuk presidium, dewan adat dan pemerintahan adat, sayap TPM dan sayap OPM, ini sudah kami akomodir semuanya. Akhirnya kita kembali ke masa-masa Orde Baru dulu dengan pendekatan berbeda. Ini persoalan, jadi kalau sampai kapanpun, kalau ada penembakan, ada kekerasan, kita omong, kita ribut, kirim polkam, kirim kapolri, bukan solusi. Karena ini persoalan politik, persoalan ideologi.

Anda bunuh seribu (Keely) Kwalik, anda bunuh seribu Kogoya, anda bunuh seribu Goliath Tabuni, atau Titus Murib, atau Tadius Yogi, percuma. Yang berjuang sekarang ini adalah generasi muda dan tidak memiliki romantisme perjuangan Papua merdeka. Mereka ini lahir dan besar di era Republik Indonesia dan umurnya relatif di bawah 30 tahun. Kenapa mereka begitu militan? Karena ideologi ditanamkan kepada mereka berdasarkan perilaku mereka.

Sepertinya sulit mengubah ideologi mereka?

Iya, sudah sulit, kayak teroris itu.


Yorrys Th. Raweyai


Biodata:

Nama:
Yorrys Th. Raweyai

Tempat dan Tanggal Lahir:
Serui (Papua), 28 Januari 1951

Agama:
Kristen Protestan

Status:
Menikah

Nama Istri:
Olga Olivia

Pekerjaan Istri:
Ibu rumah tangga

Jumlah Anak:
Lima

Alamat Kantor:
Gedung Nusantara I DPR, Lantai 14 R. 1431, Jalan Gatot Subroto.

Alamat Rumah:
Jalan Kemang Timur Raya Nomor 43A, Bangka, Jakarta Selatan, 12730
Jalan Pengeran Diponegoro, Serui, Papua

Surat Elektronik:
yorrys@yahoo.com, yorrys@indo.net.id

Pendidikan:
SD Serui Papua
SMP Serui Papua
SMA YPK, Biak 1969
Kursus Bahasa dan Manajemen Perminyakan di Inggris 1973

Pekerjaan:
Manajer Cabang PT. Phillips Petroleum 66
Ketua Pengawas Induk Koperasi Perisai Bangsa
Presiden Komisaris PT. Tiga Mitra Prima

Pengalaman Organisasi:
Wakil Ketua Umum AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar)
Wakil Ketua Uum MPN Pemuda Pancasila
Ketua DPD Serikat Kerja Pariwisata DKI Jaya
Ketua Lembaga Masyarakat Adat Jakarta
Ketua Umum PB Inkado
[fas]

Sumber : Merdeka dan http://phaul-heger.blogspot.com