Pages

Pages

Jumat, 15 Maret 2013

Babi Hutan Militer Kolonial Indonesia

Foto militer kolinial Indonesia dan masyarakat sipil West Papua
Lagi-lagi, warga kampung itu terhenyak ketakutan. Babi hutan itu datang lagi. Ya, ia datang lagi. Kali ini, korbannya adalah anak si Janda tua yang ayahnya juga telah beberapa puluh tahun lalu menjadi korban keganasan Babi Hutan itu.

Kali ini giliran anaknya. Akh, malang benar nasib remaja itu. Telinganya raib entah kemana. Hanya di sekitar telinga remaja anak janda itu, ada bekas gigitan oleh gigi yang jelas besar dan tajam.

Isi perutnya telah tumpah keluar, membuat perutnya menyerupai wajan penuh darah bercampur serpihan otot dan daging. Ususnya hancur, sepertinya karena diinjak-injak oleh kaki Babi Hutan itu. Tulang-tulang tangannya patah, begitu juga dengan nasib tulang keringnya. Darah berceceran dimana-mana. Mukanya tak berbentuk lagi, penuh darah dan serpihan daging yang mencuat karena cakar sang Babi Hutan.

Aneh bin ajaib. Babi hutan itu datang dengan tak diduga, dan menghilang sebelum orang-orang menyadari kalau salah satu diantara mereka telah menjadi korban keganasan sang Babi Hutan. Benar-benar misterius, tidak terduga datangnya.

“Tidak bisa dibiarkan. Babi Hutan itu harus dibunuh. Kalau tidak, ia harus jauh dari kampung kita,” kata seorang pemuda dengan nada emosional. Ia tidak tega, masyarakat kampungnya dengan gampangnya menjadi mangsa Babi Hutan.

“Kita harus menemukan Babi Hutan itu dan membunuhnya.”

Iya, setuju. Sebelum satu per satu di antara kita mati dimangsa Babi Hutan itu..”

“Betul bung! Lebih baik melawan daripada mati pasrah!”

Para pemuda begitu emosional. Betapa tidak, mereka telah menjadi saksi dari sederet peristiwa sadis oleh Babi Hutan itu.

Keesokan harinya, giliran anak kepala desa yang menjadi korban. Kali ini, anak itu bermain di halaman rumah, sementara ibunya mencuci pakaian di belakang rumah, dekat sumur. Hanya beberapa menit berselang, isteri kepala desa itu menemukan anaknya telah menjadi mayat di samping rumah.

Dinding rumah yang bercat biru dan putih itu kini mendapat tambahan warna baru, warna merah, percikan darah anaknya. Lantas, ibu itu menangis menjerit dan pingsan. Baru ketika kepala desa kembali dari rumah tetangga, ia jumpai isterinya pingsan di atas genangan darah anaknya. Sadis!

Beberapa hari selanjutnya, berturut-turut meninggal anak ketua adat, yang oleh penduduk kampung dianggap memiliki kesaktian yang sama dengan yang dimiliki oleh ayahnya. Ia yang diharapkan dapat menggantikan ayahnya menjadi ketua adat itu berkalang tanah di persimpangan jalan masuk kampung.

Ya, Babi Hutan itu seperti ada di mana-mana. Ia mampu menebar ketakutan pada masyarakat kampung itu. Bukan hanya manusia, ia juga telah merusak tanaman di kebun-kebun meraka. Jadinya, bukan hanya ketakutan, tetapi kelaparan juga berlahan jadi ancaman serius. Kini, hanya kelaparan dan ketakutanlah yang tergambar pada wajah-wajah. Setiap kali bertemu, hanya senyum paksalah yang tersungging, senyum yang menggambarkan betapa getir dan takutnya hati. **

Malam itu, bintang menjadi saksi deklarasi para pemuda desa. Mereka sepakat akan terus mencari, memerangi, dan hanya akan berhenti memburu Babi Hutan itu sampai ia diusir dari kampung mereka. Meraka berjanji, di bawah terang bintang, mereka akan membebaskan rakyat mereka dari ketakutan kematian yang ditebar sang Babi Hutan.

Hanya satu tekad mereka, lebih baik mati daripada terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bebas, atau mati berjuang. Itu saja!

Semua pemuda angkat senjata. Mereka mulai berburu Babi Hutan. Tanpa terasa, makin lama, makin jauh mereka meningalkan kampung. Tibalah mereka di perkampungan tetangga. Mereka mendapati kampung tetangga pun mengalami hal yang sama: wajah mereka penuh ketakutan. Ya, ketakutan yang ditebar Babi Hutan itu.

Lagi-lagi, Babi Hutan itu. Ia bukan hanya jadi ‘malaikat maut’ di kampung mereka. Di kampung kampung selanjutnya juga, mereka mendapati penduduknya sedang dalam bayang-bayang ketakutan. Berlahan, barisan pemburu Babi Hutan itu bertambah banyak.

Sampailah mereka di ibu kota, di bibir pantai itu. Disana, semua penduduk pulau itu, yang berasal dari semua kampung yang dibayang-bayangi ketakutan yang ditebarkan aktor yang sama, Babi Hutan itu, telah berkumpul menjadi satu barisan.

Semua berembuk, dan tuan tanah pemimpin kampung tetangga di bibir pantai itu telah diangkat menjadi pemimpin mereka. Tujuan mereka satu: Babi Hutan itu enyah dari hidup mereka di atas pulau mereka, di kampung-kampung mereka, di seluruh penjuru pulau.

Sesaat kemudian, terdengar deru dan gemuruh dasyat.

“itu gemuruh Babi Hutan. Mari bersiap...” para pemuda bersiap di formasi masing-masing.

Bukan Babi Hutan yang datang. Yang ada hanya kapal - kapal putih penuh manusia berbaju loreng yang mendekati pantai pulau mereka. Yang terlihat hanya deru helikopter yang membelah angkasa. Semua bersenjata.

“Itu mereka, kaki tangan Babi Hutan, sang aktor penebar bayangan kematian di negeri kita. Mari kita sambut mereka,” kata sang pemimpin rakyat.

Belum sempat ia bertindak lebih lanjut, malam itu, ia dicegat di bukit Kematian Harapan. Mayatnya ditemukan di bibir jurang.

Ketika dari senjata makluk loreng itu keluar tembakan kematian, semua bingung, seolah anak ayam kehilangan induk. Ada yang lari keluar dari formasi. Beberapa orang bersimbah darah, ditembusi timah panas makluk loreng.

Disana, di singgasana tengkorak, sang Babi Hutan tersenyum menyeringai melihat semuanya.

TAMAT

(Untuk mengingat kembali peristiwa Kongres Papua II di Hollandia, West Papua)

@Sanimala B.