Foto : Filep Karma (SUCENKO) |
PAPUA--
Pagi ini, Kamis (3/1) saya bahagia. Tulisan tentang pelanggaran hak
asasi manusia Papua oleh Indoneia, dengan judul; Belajar dari Filep
Karma, karya Andreas Harsono, dapat dipresentasikan di depan 75 orang
temanku di Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY). Bersama 8 orang
temanku yang bukan orang Papua, tapi berhati Papua, kami telah memberi
sedikit gambaran, sedikit potret mengenai pelanggaran HAM di tanah
Papua.
Diawali dengan
pemutaran Video pidato bapak Filep Karma tahun 2004, sebelum ia
akhirnya dipenjara dengan tuduhan makar, hingga 2019 nanti, kami memulai
presentasi itu. Materi presentasi telah kami diskusikan sebelumnya.
Saya diminta mencari informasi sebanyak mungkin mengenai pelanggaran HAM
di Papua. Sayang, waktu yang dibatasi oleh dosen membuat kami harus
‘mengerdilkan’ materi presentasi.
Waktu bukan
halangan. Puput, lelaki asli Jawa yang menjadi moderator mulai membuka
presentasi kami, pukul 08.15 WIB. Setelah pemutaran video, kami
presentasi. Kelompok kami terdiri dari banyak daerah. Satu orang dari
Flores. Saya dari Papua. Yang lainnya dari Jawa.
Yosua, salah
satu dari teman-temanku mengaku belum banyak mengetahui mengenai semua
yang kami bahas. Ia mengaku tidak memahami semua itu. Asror, -juga
seorang temanku sekelas- mengatakan pendapatnya, bahwa sampai saat ini,
ia menganggap semua yang kami presentasikan, juga pidato Filep Karma
itu negatif.
Saya hanya
berpikir dalam hati, mungkin Asror menilai kami 'pro separatis' dalam
presentasi kami, yang menampilkan pelanggaran HAM terhadap orang Papua,
oleh Indonesiai. Dugaanku ini segera dibantah hatiku. Aku mengira,
kelompok kami telah mepresentasikan materi dalam batas yang sewajarnya,
yakni mengenai HAM. Kelompok kami menaggapi pandangan Asror, bahwa
hal-hal menyangkut keinginan orang Papua untuk memisahkan diri, juga
mengenai pelanggaran HAM, terutama kontraversi sejarah Papua harus
digali kembali, ditelusuri bersama, dicari akar persoalannya dan
diluruskan, bukannya dianggap negatif dan malah ditutupi. Tidak boleh
dianggap negatif, dan tidak boleh ada lagi kata ‘tabu’, ‘berbahaya,’ dan
lain-lain menyangkut hal ini. Karena di Papua, akibat dua nasionalisme
yang berbeda itu, banyak orang meregang nyawa. Ia akar lahirnya
pelanggaran HAM orang Papua oleh Indonesia.
Terlepas dari
itu semua, mestinya penegakan HAM harus dijungjung sepenuhnya dalam
implementasinya, kepada siapapun dia orangnya. Tak peduli apapun latar
belakangnya.
Dalam diskusi,
ada pertanyaan dari Maeda, seorang teman dari Jawa. Ia bertanya, apakah
kelompok kami pro dengan kemerdekaan Papua atau tidak. Ini pertanyaan
yang tidak sesuai materi presentasi, namun menarik, dan segera disambut
riuh teman-teman sekelas. Pertanyaan ini dijawab perwakilan kelompok
kami, oleh seorang perempuan Jawa berhati kemanusiaan, bahwa kelompok
kami hanya berdiri di tengah, netral, dan nilai-nilai kemanusiaanlah
yang justru kami junjung. Bahwa apapun keadaan dan kondisinya, hak-hak
dasar sebagai seorang manusia, dan hak masyarakat pribumi harus
dihargai. Kebebasan berpendapat harus mendapat ruang. Juga komitmen akan
penyelesaian atas segala aspirasi itulah yang ditunggu orang Papua
untuk dibuka.
Ia mengatakan,
selama ada pelanggaran HAM Indonesia terhadap orang Papua, Indonesia
telah melanggar HAM orang Papua. Begitu juga sebaliknya. Lebih lanjut ia
mengatkan, bahwa kelompok kami hanya berada di sisi kemanusiaan. Bila
alasan dan fakta sejarah yang mendukung Papua merdeka benar, dan memang
ada rekayasa sejarah seperti yang dituduhkan para tokoh Papua, mengapa
kita harus terus membuat Papua menjadi bagian dari RI?
Tulisan karya
Andreas Harsono memang panjang. Dengan keterbatasan pemahaman kami, juga
keterbatasan kesediaan waktu, juga tanggapan sinis dari beberapa teman
karena judul dan sorotan kami yang dianggap “pro separatis”, toh, kami
tidak menyerah. Seorang teman perempuan dari kelompok kami mengaku
bangga, dapat memperkenalkan kondisi orang Papua, walau tidak secara
keseluruhan kepada teman-teman.
Aku sadar,
pasti banyak kesan terhadapku oleh teman-temanku juga oleh dosen. Aku
dianggap "separatis" yang memperjuangkan kemerdekaan Papua, itu sudah
pasti mereka pikirkan terhadapku. Tak apalah. Hatiku tetap satu: tetap
berjuang agar kehidupan yang layak dinikmati oleh orang-orangku di tanah
Papua, di atas tanah kami yang kaya, tanpa ada lagi konflik,
pelanggaran HAM, dan lain sebagainya. Aku hanya ingin damai melingkupi
hidup kami di atas tanah kami. Itu saja.
Presentasi
kami hanya 1 jam. Entalah, aku tidak tahu kesan teman-temanku semua.
Yang pasti, aku bahagia, ternyata ada orang yang bukan berasal dari
papua, peduli mengenai keadaan HAM di tanah Papua, peduli kepada
persoalan di Papua.
Bintang di
ufuk timur mulai bersinar. Ada harapan akan hidup yang lebih baik, tanpa
ada konflik dan ketegangan lagi di atas tanah kami bagi kami orang
Papua. Terimakasih Ugatame. (animala B)
Sumber: facebok.com/https://www.facebook.com/notes/sanimala-bastian-tebai/belajar-dari-filep-karma/397368940344198